2nd - Disaster

775 140 3
                                    

Entah sudah berapa kali pintu kamar Rose diketuk oleh ayahnya, namun wanita itu tidak sedikit pun beranjak dari balik selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Matanya masih sembab karena menangis semalaman, ditambah ia tidak tidur, sehingga saat ini penampilannya sangat berantakan. Tapi Rose tidak peduli akan hal itu, dibanding penampilannya, hatinya jauh lebih berantakan. Semua ini karena Jung Jaehyun.

"Rose! Mau sampai kapan kau di dalam?!" Ayahnya berteriak dari balik pintu, suaranya terdengar sangat marah dan Rose tidak bisa menyalahkan hal itu.

Rose bergeming, masih di balik selimutnya, tidak ada niatan sedikit pun untuk beranjak apalagi membukakan pintu untuk ayahnya.

"Kau sudah gila, ya?! Apa maksudmu mau membatalkan pernikahan? Semua tamu sudah datang dan Jaehyun sudah siap di gereja, kenapa kau malah masih di dalam kamar?!"

Mendengar perkataan ayahnya, Rose yakin Jaehyun pasti sudah menghubunginya. Rose meminta Jaehyun untuk memberi tahu Tuan Park, ayahnya, bahwa Rose tidak akan menikahinya dan ia memutuskan hubungan dengan Jaehyun tepat di hari pernikahan mereka. Rose tahu kebohongan ini tentunya akan mengundang amarah besar ayahnya, tapi ia lebih memilih dimarahi habis-habisan daripada malu dengan kenyataan bahwa dirinyalah yang dicampakkan oleh Jaehyun. Biarlah orang-orang menganggap Jaehyun yang ditinggalkan oleh Rose.

"Cepat keluar sekarang juga! Rose! Jangan membuat malu Ayah!"

Tidak ada yang berubah, Rose memilih diam sambil mendengarkan omelan ayahnya yang tentunya tidak akan selesai hari itu. Pasti di masa depan kejadian ini akan terus disinggungnya setiap kali ada kesempatan.

"Aku tidak melakukannya karena tanpa alasan, Ayah," Rose berujar, namun tentunya tidak akan terdengar oleh ayahnya.

Rose tidak ingat berapa lama ayahnya mengomel karena ia sudah terlanjur memejamkan mata dan melupakan semuanya. Tubuhnya terlalu lelah untuk mendengarkan ayahnya sehingga ia pada akhirnya tertidur. Rose terbangun saat matahari sudah terbenam, ia menoleh pada jendela kamarnya yang besar dan melihat langit sudah gelap. Kemudian ia beranjak, menyibak selimutnya lalu berjalan menuju kamar mandi. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, sangat hancur. Siapa pun yang melihat dirinya saat ini pasti dapat dengan mudah menyimpulkan itu.

Ponsel Rose berdering saat ia baru saja akan membasuh wajahnya yang menyedihkan. Dengan malas, ia berjalan menuju meja riasnya dan mengambil ponselnya. Telepon masuk dari Wonpil, sekretarisnya.

"Rose? Kau di mana sekarang?" Suara Wonpil terdengar khawatir.

"Kamar."

"Katanya kau belum makan? Kau masih mengurung diri? Ada apa sebenarnya?"

Hening. Rose tidak berniat menjawab kekhawatiran Wonpil.

"Apa yang sedang kau lakukan sebenarnya? Apa-apaan ini? Bukankah kemarin malam kalian masih makan malam bersama? Tapi kenapa hari ini kau mendadak--"

"Aku muak dengan sikapnya, jadi aku memutuskan hubungan kami. Apa jawaban itu cukup?"

"Rose,"

"Aku lelah, jangan hubungi aku dulu."

Kemudian panggilan Rose akhiri dan ia kembali berjalan ke kamar mandi, melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Ia mencuci wajahnya dengan sabun dan menggosok giginya. Setelah mengeringkan wajahnya, Rose kembali terdiam menatap cermin. Dengan berat, ia mengambil napas lalu menghembuskannya kasar. Tanpa sadar kedua tangannya mengepal, rahangnya mengeras, amarahnya kembali datang. Rose merasa ia tidak berhak mendapat ini semua. Kenapa? Kenapa ia harus mengalami ini? Itu yang selalu ia tanyakan dalam benaknya.

Rose berjalan menuju walk in closet yang berupa ruangan khusus dengan berbagai pakaian yang dikelompokkan dalam lemari masing-masing, mulai dari pakaian untuk bekerja, bersantai, bermain, acara penting, hingga pakaian tidur. Ia mengganti piyama yang ia kenakan dengan kaus putih longgar lengan panjang dan hot pants jeans hitam yang hampir tertutupi oleh kausnya.

DisintegratedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang