Chapter 2

3.5K 200 2
                                    

"Apa yang kau lakukan?" Stefana bertanya kaget. Ia masih tetap di posisi yang sama, di atas gendongan Justin. Ia menatap Justin heran. Tadi lelaki itu bilang dirinya sinting. Namun sekarang mendadak kembali lalu menggendongnya begini. 

"Sepertinya tadi ada yang meminta bermalam di rumahku." Sindir Justin dingin menjawab pertanyaan Stefana. Ia tidak balas menatap gadis berambut brunette itu dan hanya memandang ke arah jalan. 

Stefana mengangguk. "Kupikir kau akan benar-benar meninggalkanku sendirian. Kalau begitu terima kasih." Gadis itu kembali menatap wajah Justin. Menatap lekukan wajah pria itu. Rambut spike, sepasang bola mata dengan iris coklat keemasan, hidung yang dipahat mancung, dan bibir yang ... Stefana harus mengakui laki-laki yang tidak ia ketahui namanya tersebut punya bibir sensual yang menggoda. Secara keseluruhan, laki-laki yang menolongnya ini tampan dan punya pesona yang memikat dengan kadar hampir mencapai 100%. Dia bahkan mengalahkan Josh –mungkin. Entahlah. Otak Stefana sedang kacau saat ini. 

Untuk saat-saat ini Stefana tidak lagi menangis. Ia terlalu sibuk mengamati Justin sampai lupa pada Josh meski pun otaknya baru saja melintaskan nama Josh. "Berhenti memandangiku." Justin mendesis dingin dengan intonasi tidak suka. 

Stefana terkesiap seketika. Seolah dirinya baru saja tertangkap basah mencuri. Well, sebenarnya ia memang baru saja melakukannya. Mencuri pandang ke wajah mulus Justin. Ia langsung membuang mukanya ke arah jalan. "Maaf." Ujarnya pelan lalu tertunduk. 

Justin menurunkan Stefana setelah mereka sampai di sebuah rumah yang ukurannya lumayan. Di sebelah rumah tersebut terdapat sebuah garasi. Cat rumah ini didominasi oleh warna putih keabuan. Dan tepat di sebelah pintu utama, ada kursi kayu panjang. Langkah kaki mereka masuk ke dalam, dimana Justin berjalan terlebih dahulu. Mereka melewati ruang tamu yang merangkap sebagai ruang tengah juga. Di sudut ruangan ada lemari kaca yang diisi oleh botol-botol beer, whiskey, wine, minuman-minuman sejenis itu yang sudah kosong. Di sebelah lemari kaca tersebut ada sofa yang menghadap lansung ke layar televisi yang diletakkan merapat ke dinding. Ada karpet, meja dan juga sofa-sofa lainnya. Ruangan ini terlihat santai dan sederhana. Tidak ada perabot-perabot mewah seperti guci, lukisan-lukisan, atau apa pun lainnya. 

Mereka melewati sekat ruangan yang menghubungkan ruang tamu dengan dapur. Lantas Justin berhenti sebelum mereka masuk ke inti dapur. Di balik sekat itu rupanya ada sebuah pintu dan juga tangga yang terhubung ke lantai 2. Justin membuka pintu tersebut. "Ini kamarku. Kau bisa memakainya." 

Stefana memandang Justin ragu. Ia kemudian melongok sebentar sebelum masuk ke dalam. "Apa aku aman?" Tanyanya mendelik menatap Justin. Stefana hanya takut jika laki-laki ini bisa saja berbuat yang tidak-tidak padanya. 

Justin mendengus sebal. "Kau bisa kembali ke jalan kalau kau tidak merasa nyaman disini!" Ia sedikit menyentak gadis itu karena tidak suka dengan sikapnya. Sialan. Sudah bagus ditolong. Sekarang malah bertingkah seperti ini. 

Stefana sedikit terlonjak dengan respon yang ditunjukkan Justin. Okay, ia tau ia salah karena sudah bertanya demikian. "Maaf." Ujarnya. Justin hanya memutar bola matanya acuh lantas menutup pintu kamarnya. Namun Stefana menahan dalam satu kali gerakan. Justin menghembuskan nafasnya. "Apa lagi?" Tanya Justin malas dan berusaha sabar untuk tidak membentak gadis itu lebih jauh lagi. Berusaha sabar untuk menahan gejolak marahnya karena gadis ini begitu merepotkan. 

Street  Fighter [Justin Bieber]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang