Justin memanaskan mesin motornya. Well, ia harus bersiap mengantar Stefana pulang. Ini sudah jam 10. Matahari sudah tinggi dan gadis itu harus cepat-cepat pulang sebelum teman-temannya yang lain bertemu dengan Stefana. Itu tidak baik. Sangat tidak baik. Ia meninggalkan motornya sebentar di garasi dan beranjak masuk ke dalam untuk memastikan Stefana.
Gadis itu sudah lebih baik meski matanya masih agak sembab. Setidaknya ia sudah lebih fresh ketimbang semalam. Ia memakai baju Justin yang lainnya. Oh, ia benar-benar tidak terlihat stylish. Sama sekali tidak. Dengan baju kebesaran, dan tanpa memakai celana. Siapa pun laki-laki yang menunduk, dipastikan bisa melihat celanan dalam yang dipakai Stefana. Terlebih belahan daerah intimnya yang tercetak di balik celana dalam tipisnya. Stefana membawa kantung berbahan kertas untuk menyimpan dress dan heels-nya. Dia hanya begitu saja. Tanpa alas kaki. Semua sepatu Justin tentu saja kebesaran jika dipakai di kakinya.
"Kita harus mampir ke mall. Aku harus beli sepatu, baju, dan juga celana. Mom tidak akan suka jika menemukanku pulang dengan baju seperti ini. Atau menemukan baju laki-laki selain baju dad di keranjang cucian. Aku bisa mati." Stefana mengekor di belakang Justin menuju ke garasi rumahnya. Dia benar-benar seperti penguntit. Belum lagi ocehannya barusan. Cerewet. Berisik. Justin benci mendengar cecaran yang terlalu panjang.
"Aku hanya bertugas mengantarmu pulang, oke? Bukan menemanimu belanja. Lagipula kau yakin mau ke mall seperti ini?" Justin meliriknya dari atas ke bawah, lalu kembali lagi keatas. Tatapannya benar-benar mengitimidasi. Dan itu berhasil membuat telak Stefana karena gadis itu risih dan akhirnya sadar diri dengan keadaannya. Akhirnya gadis itu diam dengan bibir yang dicebikkan dan pandangan mata kecewa. Bola matanya terus bergerak mengukitu gerak-gerik Justin. Dan sekarang suasana berubah total jadi hening. Hanya ada suara deru mesin motor. Dan sial, Justin benci keheningan. "Kenapa diam saja?" Justin melirik gadis itu.
Stefana mengerucutkan bibirnya. "Aku tidak tahu harus bicara apa lagi. Dan kupikir kau benar. Aku tidak mungkin pergi ke mall begini." Ia tertunduk lesu memperhatikan baju yang dikenakannya. Justin menghela nafasnya merasa jadi sedikit aneh karena melihat tingkah Stefana yang biasanya cerewet, banyak tanya, manja, dan polos jadi pendiam begini. Jangan bilang kalau Justin sudah terbiasa dengan sosok Stefana?! Tidak. Tidak. Justin menggeleng memastikan bahwa ini tidaklah nyata. Ya. Ini memang tidak nyata. Toh setelah ini Justin tidak akan bertemu dengannya lagi.
Justin menarik tangan Stefana dan membawanya kembali masuk ke dalam rumah. Stefana terkejut saat tangannya ditarik Justin. Ia tampak berusaha menyesuaikan langkahnya yang tersaruk menjadi kembali normal. Mereka menaiki anak tangga menuju lantai 2.
Justin's POV
Aku tidak tahu apa yang aku pikirkan saat ini. Entah kenapa aku berniat memberikannya baju Melanie yang masih kusimpan. Aku memang masih menyimpan semua milik Melanie yang memang ia tinggalkan disini sebelum dirinya menghilang. Dan aku tidak tahu kenapa aku memberikan ini padanya. Padahal sebelumnya aku tidak pernah membiarkan siapa pun menyentuh barang-barang Melanie yang kusimpan di salah satu kamar yang ada di atas.
Aku membuka pintu kamar ini lalu menghempaskan Stefana dengan satu kali sentakan ke atas single bed yang ada di kamar lalu berjalan ke sudut kamar dan membuka lemari itu. Lemari yang kugunakan untuk menyimpan semua barang Melanie. Aku asal menarik satu kaus polos berwarna pink dan celana jeans pendek lalu melemparkannya pada Stefana. "Kau menyimpan baju perempuan?" Tanyanya kaget. "Tapi ini punya siapa?" Lanjutnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Street Fighter [Justin Bieber]
FanficStory between a graduated high school girl with a criminal. This story has a many dirty content (violence, murder, harsh words, the criminal world, and sex). Be wise. No judge. It's better if you're above 18. Repost from facebook. Street Fighter ©...