Chapter 6

2.6K 160 8
                                    

PLAY : lagu apa aja yang slow, tapi jangan galau 

Daphnie menghilang di balik pintu, bersama dengan tas yang dibawanya. Justin hanya memperhatikan sahabat Stefana itu dalam keheningan. Bahkan, hingga Daphnie sudah pergi, matanya masih terpaku pada pintu masuk tersebut. Dia menghela nafasnya, kemudian memutar arah pandangnya pada sosok gadis berambut brunette yang terbaring lemah dengan luka yang menghiasi beberapa bagian di tubuhnya dan masih belum sadarkan diri. Pikiran di otaknya sudah acak-acakan. Tidak jelas. Stefana dan Melanie sama-sama mendominasi otaknya, membuatnya sulit untuk berhenti berpikir.

Justin mengerang pelan sambil menjambak rambutnya. Kepalanya terasa pusing karena beban pikirannya yang tak kunjung hilang. Ada rasa nyeri yang melanda di kepalanya. Namun dia berusaha menahannya, dan tetap duduk disana menunggu Stefana tersadar. Karena tidak mungkin sekali dia pergi keluar membeli obat dan meninggalkan Stefana sendirian disini. 

Justin memperhatikan wajah Stefana, masih tetap dengan menggenggam tangannya. Dia memutar ulang segala peristiwa yang menyangkut Stefana dan juga dirinya. Dan ini bekerja, karena pemikiran tentang Melanie perlahan lenyap dari otaknya. Dia mengenang bagaimana dulu dia pertama bertemu Stefana, melihatnya menangis karena patah hati, mendengar curhat singkatnya, mengerti dengan sikapnya yang banyak bertanya, polos, namun cerewet. Melihatnya menangis karena ketakutan, mendengar kata-katanya yang ... mengatakan dia menyukainya. Dan yang terakhir, mendengar jeritan suaranya. Justin mendesah lagi. Otaknya berpikir lagi. Apa ketika gadis itu terbangung nanti, Stefana akan memarahinya? Karena, jika dipikir lagi, bahkan gadis itu tidak marah saat dirinya menuruninya di tengah jalan. Dia hanya mengerang kesal. Well, mungkin marah memang, tapi dia sama sekali tidak melontarkan amarahnya atau melakukan tindakan sesuatu.

Gadis yang baik. Justin mengulum senyumnya samar. 

Hatinya berharap. Berharap agar gadis itu segera membuka matanya, lalu mengucapkan sesuatu agar dia bisa merasa lega dan kecemasan yang dilandanya bisa sedikit berkurang. Namun mengapa Stefana tak kunjung bangun? Mengapa tak kunjung sadar? "Wake up, Stef." Justin berucap lirih, bahkan hampir seperti berbisik. Hati dan otaknya benar-benar sedang seperti benang kusut sekarang, karena otaknya menyadari sesuatu dengan hatinya. Hatinya seperti ... seperti merasakan sesuatu yang sulit dideskripsikan. Kedua tangannya yang sedari tadi menggengam erat jari-jari Stefana, perlahan salah satunya terulur, mengusap pipi mulus itu. Rasanya Justin sudah tidak bisa menahan egonya lagi. Jadi, dia pasrah dan melakukan apa yang selalu ingin dilakukannya, namun dulu dia tahan. 

Laki-laki itu selama ini merasa kesepian. Dia selalu ingin melakukan apa yang dilakukan sepasang kekasih. Memberi perhatian, memberi cinta, memberi kebahagiaan. Tapi, realitanya begitu berbeda. Dia masih sedikit terjebak bersama masa lalunya yang membuat hatinya beku, dan menahan diri untuk tidak jatuh cinta kepada siapa pun. Menjaga jarak dengan bersikap dingin dan ketus. Dia menunggu kekasih hatinya pulang, tentu saja. Namun sekarang dia tahu, kekasihnya tak akan pernah kembali. Dan pertahanannya untuk tidak jatuh cinta, atau untuk tidak memberi perhatian pada seseorang yang rasanya ingin dia beri perhatian, sudah runtuh. Tidak ada lagi alasan untuk menahan semua perasaan itu. Tidak ada lagi alasan untuk mengurungkan tangan yang sudah terulur. Tidak ada lagi. Dia mengangkat jarinya yang memegang jemari lentik Stefana lalu menciumnya sambil memejamkan matanya dalam-dalam. Ada harapan di hatinya agar gadis itu segera bangun. 

Sebenarnya hatinya tidak setega itu pada Stefana sejauh mereka bertemu. Itu sebabnya dia kembali saat Stefana memintanya untuk membiarkan dirinya menginap di rumahnya. Dia bahkan rela mendengarkan cerita patah hati gadis itu. Hal yang sebenarnya jarang sekali dilakukannya. Jadi, sebenarnya Stefana adalah salah satu yang terspesial. Tapi gadis itu tentu tidak akan pernah menyadarinya karena tertutupi oleh sikap dingin Justin dan kelembutannya yang bahkan tak pernah terlihat. Justin masih terus mengusap pipi gadis itu, berharap sentuhannya bisa menyadarkannya. Usapannya tertahan, lantaran ponselnya berdering, sebuah panggilan dari Darius. Ah, ya! Justin bahkan hampir lupa dengan balapannya. Justin melepaskan tangannya yang sedari tadi menggenggam jemari Stefana, lalu mengangkat telepon itu. "Halo." Justin menyahut dengan intonasi datar, seolah tidak ada apa-apa. 

Street  Fighter [Justin Bieber]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang