Stefana POV
Demi apa pun. Aku benar-benar senang! Sejak acara kelulusan sebelum prom kemarin, mom dan dad benar-benar berubah. Mereka tidak lagi mengekangku, tidak lagi menekanku untuk selalu belajar. Mereka membebaskanku! Itulah yang paling membuatku senang. Meski pun aku masih tetap tidak dibelikan mobil dengan alasan yang sama, setidaknya aku jadi bisa keluar rumah kapan pun aku mau. Dan baik dad mau pun mom entah kenapa jadi super-duper-sangat sibuk. Mereka begitu jarang di rumah. Pergi pagi, pulang malam, dan selalu begitu. Kemarin aku bertanya mengapa mereka jadi seperti orang gila kerja begini, dan mereka bilang karena harus mengejar pekerjaan mereka yang biasanya dikerjakan sedikiti-sedikit menjadi cepat. Well, rupanya mereka melakukan itu karena dulu, semasa aku belum lulus, mereka memfokuskan aku dan sedikit mengesampingkan pekerjaan mereka. Mereka ingin aku lulus dengan nilai bagus, bahkan sempurna dengan usahaku sendiri. Dan aku mewujudkannya.
Sudah 3 hari sejak Justin mengantarku pulang, dan aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Padahal aku terkadang keluar pergi jalan-jalan dengan Daphnie. Tapi aku sama sekali tidak melihatnya atau tidak sengaja bertemu dengannya. Entah kenapa bayang-bayang Justin terus muncul di benakku. Bahkan aku bisa, sama sekali tidak memikirkan Josh. Kupikir Justin sudah benar-benar menggeser Josh keluar dari otakku. Sebenarnya, kalau diingat-ingat, kejadian itu begitu lucu dan konyol. Bagaimana bisa aku dan Justin saling kenal lewat pertemuan yang tidak terduga dan sedikit ... aneh? Aku bertemu dengannya ketika aku sedang diganggu oleh preman atau siapalah itu. Justin menolongku dan aku mengikutinya. Aku menangis karena patah hati. Lalu minta menginap di rumah Justin, dan laki-laki itu mengataiku "sinting.". Benar-benar aneh. Aku menggeleng dan terkekeh pelan mengingat-ngingat itu. Dan entah kenapa aku merasa ingin sekali bertemu dengannya. Apakah aku ... merindukannya? Oh, yang benar saja, Stef! Dia menyebalkan, ketus, dingin, tidak punya perasaan, galak, dan hobby marah! Apa yang kau harapkan dari laki-laki macam dia?! Otakku bertelepati, tidak habis pikir.
Aku menyalakan televisi, dan yang muncul ada program musik. Program musik tersebut sedang memutar video klip dari penyanyi Taylor Swift yang berjudul 22. Dan entah kenapa kupikir-pikir liriknya sedikit cocok untukku.
I don't know about you
But I'm feeling 22
Everything will be alright
If you keep me next to you
You don't know about me
But I'll bet you want to
Everything will be alright
If we just keep dancing like we're
22
22
Lagu ini mengingatkanku pada ... Justin? Jeez! Kupikir otakku benar-benar konslet. Aku menggeleng keras. Tidak. Ini tidak benar. Entah apa yang dimiliki laki-laki bertato itu hingga bisa sebegininya aku teracuni oleh pemikiran tentangnya. Ini, urgh. Menyebalkan. Aku langsung menekan tombol off pada remot tv, dan tv tersebut kembali seperti semula. Mati.
Oh! Kupikir aku mulai gila, dan bisa jadi lebih gila lagi kalau tidak mengerjakan apa-apa begini. Kau tahu, maksudku Justin. Laki-laki itu tidak berhenti memenuhi otakku. Aku jadi seperti terjebak karena tidak bisa mendorongnya keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Street Fighter [Justin Bieber]
FanfictionStory between a graduated high school girl with a criminal. This story has a many dirty content (violence, murder, harsh words, the criminal world, and sex). Be wise. No judge. It's better if you're above 18. Repost from facebook. Street Fighter ©...