4. Mr. Kulkas

868 86 16
                                    


🍀🍀🍀🍀🍀

Aku merengut sebal. Dih. Siapa dia sih? Nyebelin banget huft.

"Cepet keluar!" Si Kulkas mengucap datar sambil membukakan pintu samping.

"Iya ... iya."

Aku segera keluar dari mobil yang pintunya sudah dibuka sama Mr. Kulkas.

Tanpa banyak bicara Kulkas melangkah masuk. Mau tak mau aku berjalan di belakangnya sambil nunduk dan menggerutu sebal.

Semalam aku tidur di salah satu kamar tamu milik Tante Rania ditemani Fina. Rupanya Fina dan keluarganya menginap.

Pagi hari semua orang merecokiku untuk ke rumah sakit melakukan cek lab dan CT scan karena kepalaku kemarin terbentur. Yang membuatku sebal bukan karena perhatian hampir seluruh keluarga tapi kenapa harus si Kulkas yang menemaniku? Huft ...

Sibuk mengomel dalam hati, aku yang punya kebiasaan menunduk kalau jalan jadi menubruk Mr. Kulkas yang tiba-tiba berhenti.

Bruk.
Aku menubruk punggung tegap si Mr. kulkas.

"Kebiasaan kalau jalan nunduk, jadi suka nabrak kan?"

"Biarin. Toh yang ditabrak juga kulkas gak bakalan kenapa-kenapa. Malah yang nabrak yang jadinya cedera," balasku sengit.

Dia menatapku tajam, aku balas menatapnya balik. Apa? Cukup tiga belas tahun aku selalu dilanda rasa takut, sekarang? Sekarang aku gak mau jadi penakut lagi.

"Reihan," pekik seseorang.

Tatapan kami terhenti. Kami menoleh ke sumber suara.

Deg

Lagi rasa takut itu muncul namun sekarang aku sudah mampu menguasainya. Hebat sepertinya rasa takut berlebihan hanya akan sembuh jika kita berani menghadapinya. Okelah, good job Zaza.

"Reihan kamu ke sini? Ngapain?"

"Mau periksa," jawab Mr. Kulkas datar.

"Kamu sakit? Parah gak? Udah ke dokter? Apa mau aku periksa?"

Astaga. Hahaha. Ya Allah ngakak aku. Ngapain seorang dokter harus pergi ke dokter kalau dia bisa mengobati dirinya sendiri? Kalau Mr. Kulkas gak bisa gerak barulah dokter lain dibutuhkan. Dokter aneh. Aku memilih diam namun kupingku masih awas.

"Gak."

"Terus siapa yang sakit?" (aku)

"Mau ke bagian apa?" (radiologi)

"Cek apa?" (CT scan)

Percayalah kalau itu kalian yang bertanya kalian akan mangkel luar biasa, pasti pengen makan batu bata jadinya. Mr. Kulkas tetap jalan tegak tanpa tengok kanan kiri guys. Bahkan gak menjawab satupun pertanyaan tuh cewek. Cucian ... eh ... kasihan.

Kami sampai di bagian Radiologi. Seorang pria berumur sepantaran Mr. Kulkas datang.

"Rei, kamu datang? Loh dr. Karin," sapanya ramah.

"Iya Ton, ini nemenin Reihan bawa pasiennya."

"Oh, Siapa Rei?"

"Hai Ton, bisa kita mulai."

"Sekarang? Kan kamu baru datang Rei?"

"Tahun depan," sahut Mr. Kulkas dingin.

"Astaga Rei ... Rei. Aku cuma bercanda. Oke, masuk yuk."

Dokter itu mengajak kami masuk bahkan wanita itu pun ikut masuk. Kulkas menatap dingin ke arah si Dokter Wanita.

"Ini khusus pasien," ucapnya dingin.

"Ini kan rumah sakitku Rei, tentu aku punya ...."

"Ya udah aku gak jadi Ton. Permisi."

"Rei kamu ...."

"Dokter Karina maaf. Bisakah Anda ...."

"Oke ... oke, aku keluar. Puas kamu Rei!"

Brak. Aku kaget karena pintu dibanting oleh wanita itu.

"Kawinin aja sih Rei, kasihan cucu orang."

"Kamu aja."

"Hahaha. Sorry, meskipun istriku tidak secantik Karina tapi dia spesial."

"Itu tahu," sahut Kulkas cuek.

"Ckckck. Iya juga sih. Aku aja yang muka biasa gak mau sama dia walau cucu orang kaya. Apalagi kamu ya sang idola hahaha."

"Langsung aja Ton," ucap Kulkas sambil melirikku.

"Oke, sini Mbak cantik. Ikut saya. Tenang saya gak ngajak ke pelaminan kok."

Plak.

"Wadaw. Sakit Rei. Bercanda doang. Tingkah kamu kayak suami lagi cemburu sama istrinya tahu," sungut si dokter.

Astaga. Kulkas cuma menatapnya dingin.

"Hehehe. Mari Mbak, saya cek dulu."

"Eh ... i-iya."

Akupun mengikuti perintah sahabat Kulkas.

Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, aku dan Kulkas duduk berhadapan dengan dokter yang kutahu bernama Anton.

"Gimana?"

"Gak ada yang serius, cuma namanya kejedot ya mesti sakit dan meninggalkan memar. Tapi gak masalah."

"Oke. Aku permisi ya."

"Langsung nih. Okelah ... jangan lupa minggu depan Naomi ulang tahun, kamu harus datang. Jangan lupa ajak Royya sama Rael ya? Kalau perlu mak-maknya sekalian biar disangka kamu poligami hahaha."

"Hem."

"Eh Rei, tapi kamu sama Mbak Zaza cocok loh, semoga sampai pelaminan ya."

"Hem."

Aku memilih tak menanggapi namun pipiku memerah. Ya ampun.

Kami pun berpamitan dengan dokter Anton, spesialis radiologi yang bekerja di Margono bareng Mr. Kulkas rupanya. Bedanya kalau si Kulkas praktek juga di Ananda kalau dokter Anton di Wijaya Kasih.

"Rei .... " Astaga kaget aku. Ini orang masih nunggu rupanya.

"Makan yuk. Mumpung sebentar lagi jam makan siang," ajaknya.

"Maaf aku ada urusan. Za ayok."

"Eh ... iya."

Aku mengekori Mr. kulkas dibelakangnya. Mr. Kulkas terus berjalan tanpa menoleh sedikitpun ke arah dokter wanita tadi. Ckckck. Emang ini Kulkas harusnya di ekspor ke kutub utara atau antartika kayaknya. Bener-bener gak peka.

9. Mr. Kulkas Itu Suamiku (Novel Dan Ebook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang