Diam-diam, Bima Sevanxa menyaksikan pertandingan bola basket tim putri. Ia ingin memastikan, apakah benar bahwa Ayra Kamilia, sang ketua tim basket, adalah gadis yang dulu sangat ia sayangi? Waktu, perlahan, akan memberikan jawabannya.
Dengan berbag...
“Selamat, selamat, selamat!” kata Pak Yoga dengan penuh kebanggaan.
Ia tersenyum lebar melihat anak-anak didiknya yang telah berhasil melangkah jauh. Tak terbayang sebelumnya, tim putri yang tahun lalu gagal mencapai semifinal, kini bisa tampil sebaik ini.
Setelah berjabat tangan dengan beberapa pemain, Pak Yoga berjalan menuju Ayra yang duduk di bangku penonton.
“Ayra, Bapak bangga banget sama kamu,” kata Pak Yoga sambil duduk di sampingnya.
“Eh, Pak, terima kasih. Semua ini berkat latihan keras dari Bapak,” jawab Ayra dengan senyum tulus.
“Terus kembangkan lagi, ya. Kalau bisa, bawa pulang pialanya,” kata Pak Yoga, memberikan semangat.
“Pasti, Pak. Mohon bimbingannya juga dari pelatihnya yang lebih segar dikit, ya?” Ayra menggoda.
Pak Yoga tertawa mendengar candaan Ayra. “Anak zaman sekarang memang ajaib.” Ia bangkit berdiri. “Oke, perhatian! Sekali lagi, selamat buat kalian semua! Tetap semangat dan istirahat sepuluh menit sebelum kita pulang.”
Ayra hanya mengangguk dan mulai mengamati sekeliling. Hatinya terasa hampa, matanya mencari-cari keberadaan ibunya di antara kerumunan. Namun, seperti biasa, ibunya tak hadir. Ayra merasa lelah sekali. Ia turun dari kursi dan merebahkan tubuh di lantai, menyeka keringat di wajahnya.
"Woi, woi, dugaan gue benar, pasti menang. Ini semua karena lo! Padahal gue tadi cuma lari kesana kemari kejar bola, nggak dapet-dapet," kata Mega sambil ikut berbaring di samping Ayra.
“Aduh, lo ini, ya. Ini semua karena beban tim, tahu!” Novi menimpali, tertawa kecil.
Ayra tersenyum tipis. “Tapi kita menang karena kerjasama tim, Vi. Lo punya skill yang luar biasa, dan Mega, lo hebat banget blocking-nya. Setiap orang punya kelebihan masing-masing.”
“Nah, gitu dong, baru deh enak dengerin pujian dari lo. Jarang-jarang lo muji gue,” kata Mega, merasa bangga.
“Apa sih, berisik lo!” Novi melempar handuk ke Mega.
“Gimana kalau kita bikin pesta kecil di café? Biar rasa penatnya hilang. Bertiga aja, deh,” usul Novi.
Ayra langsung menolak. “Gue nggak bisa. Kalau capek, mending tidur. Lagian, gue nggak bisa keluar malam.”
“Ah, lo nggak asik banget sih!” Mega merajuk.
Ayra menggeleng pelan. “Lain kali deh. Gue udah dijemput Rafa. Jangan dipikirin, ya.” Ayra merasa tenang hanya dengan memikirkan Rafa yang akan menjemputnya.
“Pacaran aja terus,” kata Mega sambil sewot.
“Aku nggak pacaran kok,” jawab Ayra sambil tersenyum. Memang, hubungan Ayra dengan Rafa sering disalahpahami sebagai pacaran, padahal mereka hanya dekat sebagai teman.
Ia berdiri, mengambil tas yang sudah ia bereskan, lalu beranjak pergi. “Gue duluan, titip salam buat Pak Yoga ya.”
“Oke, oke!” jawab mereka serempak.
Ayra berjalan keluar lapangan, melewati lorong yang terasa sepi. Langkahnya ringan, meski tubuhnya terasa sangat lelah. Tiba-tiba, ia terhenti saat berpapasan dengan seorang pria. Ayra mencoba menghindar, namun pria itu juga melakukan hal yang sama. Mereka bergerak ke kanan, dan pria itu pun mengikuti.
Ayra mendesah panjang. “Permisi, biar saya lewat dulu, Pak,” ucapnya hati-hati, memanggilnya ‘Pak’ karena takut dianggap tidak sopan.
Pria itu juga berhenti. “Oke, saya ke kiri, Anda ke kanan,” katanya sambil tersenyum tipis, lalu langkahnya diikuti oleh langkah Ayra.
Ayra merasa bodoh. “Sialan,” gumamnya dalam hati. Ia mengira pria itu sudah lebih tua, tapi ternyata penampilannya sangat kekinian, mengenakan hoodie dengan tudung di kepala.
Setelah beberapa saat, Ayra menyerah. Ia melangkah mundur mendekati tembok, berharap pria itu tidak mengikuti. “Jalan aja deh, lo duluan. Jangan buat gue keliatan bodoh di sini,” ujarnya dengan nada kesal.
Namun, pria itu justru membuka tudungnya. “Hai,” suaranya membuat Ayra terkejut. Suara itu terdengar familiar, dan hatinya terhenti sesaat. “Gue mau ketemu Ayra.”
“Ayra? Gue?” Ayra berpikir keras, mencoba mengingat siapa pria ini. Ia mundur beberapa langkah saat pria itu mendekat. “Kenapa harus panik, tenang aja,” pikir Ayra mencoba menenangkan dirinya.
“Ayra masih di sana, kan?” pria itu bertanya,
“Lihat, lihat. Cewek yang pakai tas merah itu.” kata ayra. sambil menoleh ke arah yang ditunjuk Ayra.
Ayra langsung berbohong, “Itu Novi.” Ia menyebut nama temannya, berusaha mengalihkan perhatian.
Saat pria itu sibuk melihat, Ayra segera berlari keluar lorong. Ia merasa jantungnya berdetak kencang, menghindar dari pertemuan yang aneh ini. Langkahnya pelan, dan saat menoleh ke belakang, ia tersenyum kecil.
“Itu Novi, namanya. Jangan bilang terima kasih, gue ikhlas. Sampai jumpa, cowok nggak jelas,” ujarnya, tertawa pelan. Ayra merasa lega, dan meskipun tak tahu kenapa, situasi itu menghiburnya.
Setelah Ayra menghilang di balik tembok, Andra, teman Bima, muncul.
“Gitu aja lepas, jangan kasih kendor,” katanya sambil tersenyum.
Bima hanya tersenyum dan melangkah pergi. “Kenapa baru tahu kalau dia sekolah di sini? Lo kurang update tentang cewek cantik atau standar lo turun?”
“Lo kan tahu sendiri, gue nggak suka adik kelas. Lo sendiri, suka dia?”
Bima kembali mengenakan tudungnya sambil tersenyum. “Dia rara. ” Kata-kata Bima membuat Andra berhenti melangkah, terkejut.
••••
MALA
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
BIMA
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ANDRA
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.