Selamat membaca 🍀••••
Saat sudah istirahat Mala ditinggal pergi oleh Meira, alhasil ia berdua saja dengan Rafa sekarang.
"Nggak mau, Rafa. Gue mau main basket," kata Mala. Ia menolak Rafa Karena diajak untuk makan siang bersama. Pasti ada Gita, pikir Mala. Itu ide buruk, lagi pula ia ada jadwal latihan dengan Bima.
"Ayolah, gue bawain sereal kesukaan Lo." Suara Rafa sangat lembut, Mala hampir terlena. Tidak sampai Gita datang, masuk kedalam kelasnya, menyusul Rafa.
"Rafa aku tungguin kamu, kalau nggak mau jangan dipaksa. Kita berdua aja."
"Tapi aku juga mau makan sama Mala juga." Mala mengernyit jijik dengan sebutan aku kam, alay. Berbeda dengan Gita, ia tidak suka dimana Rafa selalu menyangkut pautkan Mala di segala urusan nya.
"Nggak perlu repot-repot. Mala ada janji sama gue." Dari sela antara Rafa dan Gita, Mala dapat melihat Bima berjalan santai kearah mejanya. Ia sangat bersyukur, Bima menyusulnya.kalau tidak Mala yakin ia pasti akan dipaksa Rafa.
"Dateng Dateng seenak jidat. Nggak, Mala ikut gue." Bima mengacuhkannya. Ia menggenggam tangan Mala, berniat pergi. Tapi Rafa menghentikan langkah Mala dengan mencekal lengan nya.
"Mala ikut gue," ulang Rafa.
Mala hanya diam, suka dengan drama ini. Lihat siapa yang menang, batinnya.
Saat Bima menyentak kan kepalanya, Gita langsung menarik Rafa kebelakang. Dirasa genggaman Rafa telah lepas, Bima mengandeng kembali mala, Meninggalkan kelas.
Rafa, ia marah. Lagi, lagi ia kalah dengan Bima. Lagipula menurutnya Mala tidak cocok dengan Bima. Ia berjalan meninggalkan Gita yang mengomel tidak jelas.
"Rafa, kamu bener bener ya."
Mala mengernyitkan dahinya saat melewati lapangan. Seharusnya berhenti, tapi Bima membawanya berjalan.
"Loh, lapangannya disitu woi. Ngantuk Lo?" Tanya Mala, ia mengentikan langkahnya, namun Bima terus menuntunnya. Kearah kantin.
Dari tangan beralih ke pundak dan menuntunnya duduk disalah satu kursi yang sudah pasti ada Andra, Evan dan Aldo.
"Nomor satu makan. Latihan, gampang lah nanti," kata Bima.
Mala tidak terlalu memerhatikan sekeliling, ia tidak peduli.
"Berasa jadi artis gue kalau dilihatin terus kaya gini," kata Evan karena hampir seluruh siswa menatap kearah mejanya. Karena adanya Bima dan Mala, mungkin, pikirnya.
Dengan jelas Mala dapat melihat Evan. "Kak Evan? Sekolah disini juga?"
"Lo seriusan, La? Nggak tahu kalau gue sekolah disini? Kurang jauh kalau main."
"Tapikan dulu bilangnya sekolah dibandung." Dulu Evan dan Mala adalah teman bermain basket. Juga teman satu sekolah sewaktu SMP. Ia harus berpisah karena Evan sudah daftar di Bandung. Tapi nyatanya ia masih disini, di Surabaya. "Ih jahat, nggak kabari, mana DM gue nggak di bales."
"Kita kesini makan ya bukan ngobrol. Gue bawain pie kesukaan Lo," kata Bima santai, berbanding Balik dengan suasana hatinya. Ia cemburu melihat kedekatan Mala dengan Evan, terlalu dekat.
"Wow. Fruit pie." Pie yang disodorkan Bima langsung menyita perhatiannya. Apalagi dengan bentuk yang minim membuatnya tidak perlu repot-repot memotongnya.
"Thanks."
Bima tersenyum saat melihat Mala yang lahap memakan pie. Ia tahu pasti Mala suka. "Besok-besok gue bawain puding." Mala hanya mengangguk, memakan pie nya kembali.
Lembutnya vla dengan toping buah jeruk, stroberi, dan kiwi membuatnya lupa untuk menawari orang yang berada di meja. Mala menyengir. "Gue lupa,aaaaa." Mala menyodorkan pie nya, berniat untuk menyuapi. Dengan senang hati Bima menerima nya.
"Tutup mata,do. Adegan tujuh belas plus," kata Evan sambil menutup mata Aldo.
"Apa sih, Van? Cuma begituan, gue bisa lebih dari itu kalo sama Tasya. Lagian umur gue dah delapan belas."
"Tasya, Tasya. Kebablasan baru tahu rasa Lo."
Apa yang dilakukan Mala adalah refleks. Ia sangat malu. "Maaf. Mau kak?" Tawar Mala pada Evan.
Saat Evan ingin mengambilnya satu, tangan nya ditahan oleh Bima. "Itu buat Mala," ucap Bima tegas.
"Aelah, gue ambil sendiri, gue makan sendiri. Ngak pake disuapin mala."
"Udah, udah, Lo ikut gue aja, mang Ujang." Andra yang sejak tadi diam saja, ikut bicara. Ia juga tidak ingin mendengar keributan karena hal sepele.
"Kapan latihannya nih? Dah kenyang gue." Menghabiskan delapan potong pie, benar benar membuatnya kenyang.
"Gitu ya kalau sama anak anak aja kalem, kalo ke gue beda."
Mala terdiam, sempat berpikir. "Gue emng gini, nggak bisa kalem kalau udah nyaman." Aneh, terdengar ambigu. "Maksud gue, maksud aku." Mala memutar bola matanya malas. "Gue kalau udah ngerasa nyaman nggak bisa kalem."
"Iya, iya. Gue paham,nggak perlu salah tingkah kaya gitu." Ia sangat lega saat Mala mengatakan itu, kehadirannya membuat Mala nyaman.
"Gue ada rencana yang lebih seru daripada main basket." Mala diam, menunggu kelanjutan dari Bima. "Kita hias tempat di rawa, kita buat tempat main."
"Menarik. Tapi nggak ada sangkut pautnya sama basket, waktu gue udah mepet. Kalau nggak mau ajari gue latihan, gue bisa sendiri."
"Soal basket, itu tetep tanggung jawab gue buat latih Lo. Gue yakin Lo pasti bisa, gue yakin itu. Dan soal hias rawa-rawa itu pun kalau mau nonstop latihannya bisa disitu. Kita hias biar nggak serem serem amat."
Nonstop latihan, benar, disana ada lapangan basket, pikir Mala. "Oke, ide bagus. Kapan kita mulai?"
"Pertama kita buat list apa yang akan kita buat. Catatan nggak ada?"
Mala menggeleng, pertanyaan aneh. Siapa yang akan membawa buku kesana kemari?
"Handphone aja kan bisa tuh."Bima mengeluarkan handphone dari sakunya dan mulai membuat catatan, apa saja yang akan ia buat bersama Mala.
"Oke, ini dulu. Kalau ada yang kurang nanti nyusul."
"Terus?"
"Sekarang gue antar Lo balik ke kelas. Udah mau jam terakhir, nanti pulang tunggu gue kalau belom gue jemput dikelas. Kita pulang bareng, sekalian beli bahan, terus buat hiasan dirumah gue." Bima berdiri sambil memunguti sampah yang ada di mejanya.
Sedangkan Mala, ia mengurungkan niatnya untuk berdiri. "Dirumah Lo?"
"Apanya?"
"Gue nggak bisa kerumah orang, nggak nyaman."
"Bukan masalah besar, kita bisa buat di cafe, di taman, dimana aja bisa." Uluran tangan dari Bima kali ini diterima oleh Mala. Membuatnya tersenyum manis.
"Dirumah gue aja ya?"
"As your wish." Mala tersenyum, ia suka dengan Bima karena tidak keras kepala seperti Rafa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anyelir
Fiksi PenggemarDiam-diam Bima Sevanxa menonton pertandingan bola basket tim putri. Ia ingin memastikan, apa benar Mala Azriella sang ketua basket adalah kesayangannya dulu? Perlahan waktu yang menjawab. Dengan segala cara Bima membuat agar selalu dekat dengan Mal...