part 06

11 13 0
                                    

Selamat membaca 🍀

•••••

"Kita dimana?" Tanya Mala saat Bima memarkirkan motornya di lahan kosong. Ia merasa sangat asing dengan tempat ini dan tidak terlalu memerhatikan jalan.

Setelah melepas helm Mala mengamati sekitar. Ia berdiri ditengah lahan kosong, tidak ini terlihat seperti lapangan, lapangan basket. Karena diujung sana terdapat ring yang tampak berkarat. Terdapat pohon Pinus yang menambah kesan asri dan segar.

"Kita main basket dulu, sambil nunggu matahari terbenam." Bima mengambil bola dibawah ring.

"Gue kira bakal diajak ke--"

"Mall? Nonton bioskop? Terlalu kuno, Lo sendiri kan yang bilang?"

Benar, itu sangat kuno dan ini sangat mengesankan. Mala sangat suka dengan tempat ini. "Lumayan."

"Baru tahap awal."

Mala melompat, menangkap bola yang dioper Bima dan kemudian melakukan shooting, lemparan ke ring, dan berhasil. Ini terlalu mudah untuknya apalagi dengan lapangan yang terbilang kecil untuk nya. "Lapangannya kecil."

"Dulu yang punya anak kecil." Mala hanya menanggapi dengan ber oh ria. "Gimana kalau kita main teknik?" Bima mengambil bola yang sempat keluar lapangan.

"Curang. Lo main di zona aman."

"Dan keluar dari zona aman Lo. Gue ajari."

Setelah satu jam bermain basket, Mala berbaring ditengah lapangan, diikuti oleh Bima yang tak jauh dengan posisi nya.

"Udah gue bilang slam dunk itu susah." Mala memandang langit yang sudah berubah menjadi warna senja dan ia pun mulai kedinginan karena angin sore.

"Baru pertama kali?" Mala mengganguk tetap menatap langit. "Semua emang butuh usaha, gue coba ini dari kecil, yeah, jatuh bangun pastinya. Dan gue baru bisa akhir-akhir ini."
Bima menoleh menatap Mala, begitu juga sebaliknya. "Dan gue lihat skill Lo bagus."

"Makasih, sebenarnya gue juga suka basket dari kecil, tapi karena banyak yang nggak suka bahkan ngelarang. Gue selalu sembunyi sembunyi kalau main. Alhasil gue nggak terlalu fokus sama teknik, bisa main aja syukur."

Bima terduduk menatap Mala lekat lekat. "Lo bahagia nggak selama ini, La?"

Pertanyaan Bima tentu saja membuat Mala bingung. "apa?" Bima menggeleng, ia merasa belum saatnya untuk memberi tahu Mala.

"Sekarang gue ada disini, gue selalu dukung apa yang Lo suka, apapun itu. Soal teknik, kita belajar bareng." Dengan perlahan Mala duduk, ia terharu dengan kata-kata Bima, sangat menghangatkan hatinya.

Sebelum Mala berbicara, Bima sudah berdiri dan mengulurkan tangannya, kali ini Mala menerima nya. "Pulang?" Tanya Mala.

"Waktu masih panjang, La. Lagian ini yang di tunggu-tunggu."

Mala bingung saat Bima mengandeng, berjalan lebih jauh, sebenarnya ia rada takut, ia sempat menoleh kebelakang. "Motornya?"

"Aman."

Setelah Bima menyibakkan ilalang yang menghalangi pandanganya, membuat raut wajah Mala berubah drastis. Sangat takjub, ia tidak melewati detail satupun. Rawa dengan air jernih, dan dihiasi sinar matahari yang akan terbenam disebelah barat. Senja. Ilalang yang tingginya sebahunya  membuat kesan lebih indah Dimata Mala.

"Gue...gue, ah sial. Ini bagus, Bim. Di kota ada rawa-rawa?" Mala kehabisan kata-kata. "Dan Lo dari mana tahu tempat seindah ini?

"Pasti gue cerita."

"Sekarang?" Mala sangat ingin tahu.

"Gimana kalau kita lihat senja dulu? Keburu hilang," kata Bima sambil menuntun Mala dengan memegang kedua bahunya.

•••••

Bima berjalan berdampingan bersama Mala, melewati lorong yang sepi, karena memang bel telah bunyi dari tadi. Mereka terlambat sebab ada perdebatan sedikit antara Mala dengan Rafa. Ia selalu memberitahu Mala bahwa Bima bukan pria yang baik.

"Kita nggak latihan?" Kata Mala saat hampir sampai kelasnya.

Tidak ada jawaban sampai Bima mengulurkan tangannya untuk membuka pintu kelas. "Pasti, tapi nanti sekarang belajar dulu. Percuma kalau prestasi banyak otak kosong. Good luck."

Mala tidak menanggapi Bima, ia masih tidak percaya dengan kelasnya yang senyap tanpa suara dan terfokus padanya. Beberapa detik kemudian Mala berpaling dan Bima sudah tidak ada. Sebelumnya ia bersyukur karena guru belum masuk kelas, dengan acuh tak acuh Mala berjalan ke mejanya. Duduk bersama Meira.

"Wah,wah. Gila parah," kata Meira. Ia memutar kursinya kesamping, menghadap Mala. "Kelas kita akhirnya kedatangan salah satu kakel cogan. Nggak heran sih, Lo kan anak basket. Duh tahu gitu gue ikut ekskul yang cogan nya bertebaran dimana-mana."

"Apaan sih, Ra? Nggak jelas."

Tiba tiba Meira mengebrak meja dan menjadi perhatian satu kelas. Mala hanya mendesah dalam hati. Mulai,pikir Mala.

"Ini sebabnya kak Rafa bete, njir. kalau nggak salah dari kemarin ya?"

"Emang kenapa?"

"Lihat Lo sama kak Bima kali, masa nggak paham sih?" Meira sendiri tidak yakin dengan perkataannya.

"Nggak. Gue mana paham sama orang nggak jelas kaya dia? Pacarnya Gita, tapi gue yang selalu diatur." Suara Mala terdengar ketus.

"Dia peduli sama Lo," kata Meira, bersamaan dengan pak Gunawan selaku guru geografi masuk. Pelajaran dimulai, pak Gunawan menerangkan pelajaran.

Mala sendiri tengah sibuk dengan pikirannya. Kejadian kemarin sore membuatnya semakin nyaman dengan Bima. Tapi ia selalu mengingatkan pada diri sendiri. Nyaman boleh, jatuh cinta jangan. Memang apa bedanya? Pikir Mala. Jalani aja dulu.

Meira menyadari bahwa Mala tidak fokus pelajaran, ia menghadap ke Mala, menumpukan kepalanya dengan satu tangan.
"Gue kepo nih. Lo suka ya sama kak Bima? Kelihatanya Lo nyaman."

Mala sempat berpikir, tetap memerhatikan pak Gunawan Mala menjawab. "Bisa dibilang kaya gitu. Lo nggak tahu, kemarin sore romantis banget."

"Apa, apa---"

"Yang dibelakang? Meira?" Kata pak Gunawan. Mala tetap tenang, sedangkan Meira dengan perlahan menghadap ke depan dan tersenyum malu."iya pak, saya."

"Coba jelaskan apa yang baru saya jelaskan." Tidak ada jawaban dari Meira, ia takut karena tidak tahu. "Mala?" Pak Gunawan beralih.

"Kenap jadi gue?" Tanya Mala lirih, yang hanya didengar oleh Meira. "Atmosfer terdapat beberapa lapisan yaitu, troposfer, stratosfer, mesosfer, termoofer."

"Dan?" Mala bingung karena merasa jawabannya sudah lengkap, sudah benar. Ia juga melihat dari papan tulis dibelakang pak Gunawan.

"Eksosfer," timpal Meira.

"Lain kali jangan ramai, perhatikan bapak menerangkan." Mala dan Meira kompak mengganguk.

"Sorry, sorry," bisik Meira.

•••••

AnyelirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang