part 3: Permainan Hati

18 17 0
                                    

Selamat membaca 🍀

Sepulang sekolah, Ayra dan Novi menghabiskan waktu mereka dengan bermain basket. "Gue duluan, la. Udah sore nih," kata Novi saat Ayra berhasil melakukan lemparan ke ring. Dengan cepat, Ayra menangkap bola dan mengiringnya ke arah Novi.

"Payah, baru juga mulai. Bentar lagi lah."

"Sial. Dari tadi Lo sendiri yang main," Novi berjalan ke tepi lapangan dan menjinjing tasnya. "Lain kali ya, duluan." Ayra cuma melambaikan tangannya sebagai respon.

Ayra duduk di tengah lapangan, beristirahat sejenak. Ia malas kalau harus bermain sendirian, nggak ada lawan. Di sekelilingnya, lapangan terlihat sepi. Maklum, sudah sore, banyak yang sudah pulang. Ayra memang suka menyempatkan bermain sebentar di lapangan sebelum pulang ke rumah.

Saat Ayra berdiri untuk pulang, ia mendengar suara bola basket. Ayra menoleh ke belakang dan melihat Bima sedang mendribble bola ke arahnya.

Ayra langsung menegang dan merasa takut saat melihat wajah Bima, teringat pada malam kemarin. Sial, kenapa gue takut? pikir Ayra. Apa dia ingat gue? tanyanya dalam hati.

Sebelum Ayra banyak berpikir, suara Bima memecahkan keheningan. "Gimana? Udah inget gue?"

"Lo---" suara Ayra terdengar bergetar, dan ia memberanikan diri menunjuk Bima.

"Emang bener ya, adik kelas nggak ada yang sopan." Ucapan Bima membuat Ayra cepat-cepat menurunkan tangannya.

Bima melanjutkan dribble-nya, lalu mengangkat bola tinggi-tinggi. "Gue tantang Lo duel." Ia memantulkan bola basket ke lantai, arahannya jelas menuju Ayra, dan Ayra otomatis menangkap bola itu.

"Kalau gue menang duel ini, Lo harus jadi pacar gue." Ucapan Bima membuat Ayra melongo. Ia malu, marah, dan terkejut. Segampang itu ya nembak cewek? pikir Ayra, kita lihat aja.

"Kalau gue nggak sopan, Lo nggak waras." Ayra langsung mengiring bola basket ke arah ring di belakang Bima.

Saat berpapasan dengan Bima, Ayra membalikan badan ke arah yang berbeda untuk menghindar dari jangkauan Bima dan mengiring bola lagi. Merasa sudah dekat dengan ring, Ayra melompat dan melakukan tembakan ke keranjang. Berhasil.

Sementara Bima, ia memang tidak berniat untuk melawan Ayra. Dia hanya ingin melihat Ayra memainkan bola basket kesayangannya. Cocok, pikir Bima.

Setelah Ayra memasukkan bola ke dalam ring, ia berbalik badan ke arah Bima dan mendekat.

"Cara Lo terlalu kuno buat dapetin gue." Ayra melenggang pergi tanpa melihat reaksi Bima.

Saat di tepi lapangan, Ayra menepuk kedua pipinya yang terasa panas. Ia sangat grogi, jauh berbeda dengan perkataannya yang kasar tadi. Harus jauh-jauh, jangan deket-deket Bima, katanya pada diri sendiri.

Sementara Bima menatap punggung Ayra dan tersenyum, "Menarik."

••••

Ayra bersenandung pelan saat menuruni tangga. Suara Emi, bundanya, terdengar dari ruang tamu.
"Kok baru turun, sayang? Rafa tuh udah nunggu," kata Emi sambil tersenyum.

Ayra menghentikan langkahnya. Rafa? Kesini? pikir Ayra. Ia merasa nggak suka kalau Rafa datang pagi-pagi gini, mungkin bakal nungguin dia, dan pasti ada Gita kesayangannya. Ayra hanya bakal jadi "obat nyamuk" di dalam mobil. Rasanya menyakitkan.

Buru-buru Ayra turun dari tangga dan mendekati bundanya. "Bilang aja aku udah berangkat, Bun." Suaranya hampir berbisik, ia sempat mencuri pandang ke ruang tamu.

"Udah berangkat, tapi orangnya disini." Suara itu membuat Ayra menegang. Itu suara Rafa. Ayra berbalik, dan ternyata Rafa sedang duduk di ruang makan, melahap rotinya. "Udah, sini, makan dulu."

AnyelirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang