6

21 2 0
                                    

Desember, 2013.

Hari berjalan begitu cepat tak terasa musim gugur telah berlalu begitu saja. Hari demi hari ku lalui dengan membantu Jihyo.

Kondisinya semakin memburuk. Sekarang dia sudah tidak lagi bisa berjalan. Kursi roda menjadi alat yang amat sangat ia butuhkan saat ini.

Setiap malam aku selalu menangisinya. Aku tak tega melihat kondisinya yang semakin lama semakin memburuk.

Ditambah lagi hinaan dan cacian yang ia terima dari murid-murid di sekolah. Kerap kali aku berkelahi dengan beberapa murid pria yang menghina Jihyo. Aku tak tahan melihat mereka mengolok-olok Jihyo yang sedang berjuang melawan penyakitnya.

Terlebih lagi Jihyo sudah tak memiliki satupun teman di sekolah. Teman-teman yang dahulu selalu berada disekelilingnya kini mulai menjauh satu persatu saat Jihyo mulai melemah dan tidak bisa di andalkan.

Jika kalian tanya soal Yoongi, dia bahkan sudah memiliki kekasih baru dan seperti sudah tidak mengenal Jihyo.

Sakit rasanya melihat Jihyo tersiksa seperti ini. Namun, dengan kondisinya yang seperti sekarang ini, Jihyo tetap semangat menjalani hidupnya. Sesekali ia menangis, marah, mengeluarkan keluh kesahnya di hadapanku. Namun, ia kembali ceria setelahnya.

Sampai saat ini aku tidak tahu penyakit apa yang ia hadapi. Sering kali aku menanyakan tentang penyakitnya, namun tak sekalipun ia menjawab dengan serius.

Pada awalnya Jihyo tidak mau menerima bantuanku. Dia takut. Dia takut aku akan pergi meninggalkannya seperti teman-temannya yang lain. Maka dari itu lebih baik dia sendiri sejak awal daripada harus kehilangan teman.

Sangat menyakitkan bagiku, tapi aku bisa memahaminya. Tapi kini, aku berhasil meyakinkannya. Setelah berusaha susah payah tentunya.

"Jihyo." Kataku, di tengah Seoul Olympic Park, tempat ini lah yang Taman yang berada ditengah kota Seoul itu, keliatan aestetik berkat salju. Omong-omong hari ini adalah hari pertama saju turun. Aku berdiri tepat di belakang Jihyo.

"Yah." Balasnya, ia terlihat sangat menikmati suasana di taman ini. Aku senang melihatnya tersenyum.

"Kau suka?"

Dia mendongakan kepalanya, menatap wajahku yang tepat berada di atas kepalanya. "Tentu saja." Ia tersenyum. Dan aku membalas senyumannya.

"Syukurlah." Ucapku. "Omong-omong apa kau begitu menyukai salju?"

"Emm." Ia mengangguk.

"Kenapa?"

"Karena salju itu seperti kebaikan."

"Maksudmu?" Aku memiringkan kepalaku, aku tak paham apa yang ia maksud.

"Karena mereka mempercantik segala yang mereka tutupi." Jawabnya dengan gummy smile ciri khasnya.

" Jawabnya dengan gummy smile ciri khasnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tertawa kecil.

Sungguh, aku tidak menduga akan jawabannya. Dia memang sulit untuk ditebak.

"Daniel." Ujarnya tiba-tiba.

"Yah?"

"Apa kau sungguh ingin tahu tentang penyakitku?"

"Tentu saja." Aku mengangguk dengan yakin. "Aku mau mendengarnya jika kau mau menceritakannya." Tambahku.

"Jika sudah tahu, apa yang akan kau lakukan?" Katanya dengan tatapan kosong ke depan.

"Hhmm.. Tentu saja membantumu mencari cara untuk menyembuhkan penyakit itu (?)." Ujarku, sedikit ragu.

Jihyo tertawa perih.

"Kenapa tertawa?"

"Spinocerebellar Degeneration." Ucapnya, pelan.

"Spi-- apa? Kenapa namanya sulit diucapkan." Kataku, kesulitan untuk menyebut nama penyakitnya.

"Penyakit apa itu? Aku baru pertama kali mendengarnya."

"Penyakit yang menyerang otak kecil dan tulang belakang dan menyebabkan gangguan pada saraf motorik." Jelasnya.

"Tunggu.. Apakah ini penyakit yang berbahaya? Ini bisa disembuhkan bukan?" Mendengar penjelasannya aku cukup terkejut. Entah kenapa melihat wajah pucat Jihyo saat menjelaskannya membuatku sangat takut untuk mendengarnya.

"Penderita akan kehilangan kendali terhadap saraf-saraf motoriknya secara bertahap dan semakin lama kondisi fisiknya akan semakin parah."

Tes..

Satu bulir air mata meluncur bebas di pipi Jihyo.

"Park Jihyo?!" Aku berlutut dihadapannya, menggenggam kedua tangannya.

"Ini bisa disembuhkan bukan?!" Aku bertanya dengan nada yang cukup tinggi.

Dia menggeleng "Tidak."

Hiks..

Jihyo terisak. Dia menundukan kepalanya dan menutup mulutnya menggunakan tangan kanannya.

Tubuhku melemas seperti tak mempunyai tenaga. Aku menunduk tepat di pangkuan Jihyo.

Aku berusaha membendung air mata yang hendak keluar dari mataku. Aku harus menahannya, aku tidak mau menangis dihadapan Jihyo. Itu hanya akan membuatnya semakin sakit.

Aku berusaha menguatkan diriku, aku bangun dan memeluk Jihyo erat. Ku usap kepalanya perlahan, ku biarkan dia menangis didalam pelukanku. Di bawah butiran salju yang terus menerus berjatuhan, aku menangis dalam diam menahan sakit yang begitu menyesakkan dadaku.

 Di bawah butiran salju yang terus menerus berjatuhan, aku menangis dalam diam menahan sakit yang begitu menyesakkan dadaku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Snowflake -/- Daniel Jihyo SHORT STORY.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang