9

23 2 0
                                    

Novemver, 2014.

Kegiatanku sangat padat menjelang akhir tahun. Aku tak bisa setiap saat mengunjungi Jihyo. Barulah hari ini aku mendapat waktu luang untuk mengunjunginya.

Aku merasa bersalah. Apa dia menungguku? Kuharap dia baik-baik saja. Meskipun ku tahu, kondisinya kian lama kian memburuk.

Bahkan hingga saat ini, dia harus terus menerus tergeletak di atas ranjang rumah sakit. Dia perlu bantuan orang sekitar hanya untuk sekedar mendudukan dirinya atau mengambil minum. Tidak. Bahkan lebih buruk dari itu. Dia sudah tak bisa berbicara sama sekali. Dia memerlukan papan yang dipenuhi abjad untuk membantunya berbicara.

Sangat sulit untuk berkomunikasi dengannya saat ini. Tapi dia tak pernah menyerah, dia selalu berusaha menyampaikan apa yang ada dipikirannya bagaimanapun caranya.

----

Tok.. tok..

Aku mengetuk pintu ruangan Jihyo sebelum masuk.

Terlihat Ny.Park yang sedang mendampinginya segera bangun begitu melihatku masuk.

Dia terlihat lelah. Kurasa dia belum istirahat. Oleh karena itu, aku menyuruhnya pulang dan aku akan menggantikannya untuk menjaga Jihyo.

Dia pun mengiyakan dan menitipkan Jihyo kepadaku.

Aku mendudukan diri di samping rajang Jihyo.

"Maaf, akhir-akhir ini aku terlalu sibuk."

Dia menggeleng, dan meminta papan abjadnya.

Ditunjuknya huruf per-huruf membentuk kalimat "Tak apa." Ia menunjuk seraya menampilkan senyuman tulus.

"Kau tahu, aku sangat kesal kepada ayahku. Dia bawel." Kataku, mencoba menceritakan apa yang kurasakan hari ini. Dan dia tertawa. Aku senang dia tertawa.

"Kenapa dia terus-terusan membandingkan aku dengan kakakku? Apa yang bagus darinya?"

Aku menghela nafas kasar. "Dia memang pintar, tapi aku jauh lebih tampan darinya. Benar bukan?" Aku mencoba menggoda Jihyo. Aku tak mau menganggapnya berbeda. Aku tetap berusaha memperlakukan dia seperti Jihyo yang dulu.

Dia tertawa dengan senyuman lebar. Aku senang dia masih bisa tersenyum seperi itu. Kau sangat hebat Jihyo. Aku menatapnya lekat.

Dia memintaku untuk mengangkat papan abjadnya.
Satu persatu huruf ditunjukan oleh jari telunjuknya dan membentuk kalimat "Dia lebih tampan." Lalu tertawa meledek.

"Hei!!" Aku tersentak. Dia membalas gurauanku. "Kurasa kau sama saja dengan ayahku. Dasar menyebalkan." Aku pura-pura merajuk melanjutkan gurauanku.

Dia pun semakin terkekeh. Sepertinya dia gemas kepadaku. Seketika aku tak kuat menahan tawaku. Dia sangat lucu. Bahkan saat dia tak melakukan apapun.

Lagi dia menggerakan tubuhnya meminta papan abjad itu. Akupun menurut memberikannya. "Terima kasih." Susunan abjad yang ia bentuk.

Dia selalu bilang seperti itu setiap saat. Dari dulu dia tak berubah.

Aku menggeleng.

"Aku yang harus berterima kasih. Terima kasih telah lahir kedunia ini dan terima kasih telah hadir dalam hidupku." Aku menggenggam kedua tangannya kemudian mencium punggung tangannya.

Dia ingin mengucapkan sesuatu. Dengan pekanya aku segera memberikan papan abjad itu. Dia pun menunjukan huruf-huruf yang ingin ia ucapkan. "Genit." Katanya lalu tertawa kecil.

"Hei!!" Aku menggeleng tak percaya. Dia masih bisa bercanda seperti ini. Aku terkejut namun juga bangga secara bersamaan.

Aku banyak berbincang dengannya. Tidak. Maksudku, aku banyak menceritakan hariku untuk terus menghibur dia.

Hingga muncul saat aku kehabisan kata-kata dan suasana menjadi hening.

Tiba-tiba dia mencolek bahuku.

"Kenapa?" Responku. Kemudian aku memberikan papan abjadnya.

"Kenapa penyakit ini memilihku?" Katanya, dengan waktu yang cukup lama untuk membentuk kalimat sepanjang itu. Dia tersenyum, namun berbeda dengan senyuman yang ia tampilkan sebelumnya.

Aku menggeleng. Jujur, sama sekali tak terlintas sedikitpun jawaban akan pertanyaan tiba-tiba darinya seperti ini.

"Maaf. Telah hadir di hidupmu." Dia meneteskan air mata di papan abjadnya.

"Hei." Aku menghapus air mata yang keluar tanpa permisi dari bola matanya.

"Jihyo, kau itu seperti salju. Tidak ada salju yang jatuh di tempat yang salah. Begitupun kamu, kehadiranmu dalam hidupku merupakan anugerah yang tuhan berikan untukku. Jangan pernah menyesali itu. Mengerti?." Aku menenangkan pikirannya seraya memegang kedua bahunya.

Dia menangis tak bersuara. Aku memeluknya.

Sekuat apapun dia, ada saat dimana dia merasa takut akan takdir yang ia hadapi saat ini. Aku sungguh bisa memahaminya.

Snowflake -/- Daniel Jihyo SHORT STORY.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang