Part 20: Ending?

5 4 0
                                    

Tio dan Feri memimpin perjalanan para remaja itu pagi-pagi sekali dengan di temani tiga orang warga, takut-takut para monster akan menyerang di tengah jalan. Apalagi sebelum berangkat, Arkhan menceritakan mimpinya, membuat kakek Dasan sempat di rundung khawatir. Bahkan kini mereka sengaja membawa senjata yang tentunya sudah di lumuri bawang tumbuk.

Sebenarnya Tio enggan mengantar remaja-remaja itu. Tapi berkat Feri yang mengatakan bahwa David menyuruh Feri menjaga Arumi, Tio akhirnya sudi mengantar mereka. Sejujurnya, Tio juga merasa bahwa dirinya egois dengan menyalahkan Arumi, tapi karena egonya, ia masih enggan memaafkan gadis itu.

"Kalian gak pengin ikut kami?" tanya Gama mengusir hening yang ada.

"Tidak bisa. Kita sudah di takdirkan untuk tetap disini," Feri menjawab lesu. Sejujurnya semua warga desa juga ingin pergi, bahkan Feri, Tio, dan David pernah mencoba kabur lewat air terjun itu, tapi bukannya berhasil,     tubuh mereka justru terpental cukup jauh ke arah pepohonan dan itu cukup membuat mereka kapok.

Mereka terus berjalan jauh masuk ke dalam hutan dengan keheningan lagi. Semakin jauh mereka melangkah, hutan semakin rimbun. Suasananya semakin gelap dan mencekam karena cahaya matahari terhalang oleh pohon-pohon besar. Langkah mereka tak serta merta berhenti, meski suara geraman monster-monster itu terdengar di balik pohon-pohon besar sekeliling mereka.

Aziel yang ada di samping Arumi cepat-cepat menggenggam tangan gadis itu saat memperhatikan raut cemas Arumi.

"Tenang, Rum. Kita disini bakal jagain lo," ujar Aziel menenangkan.

Hingga satu persatu monster-monster itu bermunculan mengelilingi mereka tepat di depan telaga, hanya tinggal menyibak dedaunan di depan mereka telaga itu pasti sudah terlihat. Jumlahnya tak banyak--sekitar 25 ekor--mungkin karena beberapa sudah di habisi oleh Brian dan kawan-kawan.

"Bri, lo sama Arkhan diem aja. Jangan bertindak kegabah, tubuh kalian masih belum sepenuhnya sembuh. Kalian mundur bersama Arumi dan Zanna," titah Aziel. Dia hanya takut, kalau-kalau Brian memaksakan diri ikut melawan. Meski permainan senjata Brian cukup bagus, tapi pemuda itu terluka cukup parah.

Brian mengangguk, kali ini ia akan menurut. Dia takut kalau memaksakan diri justru akan menjadi beban. Kakinya melangkah mundur bersama Arumi, Zanna dan Arkhan. Mereka bersembunyi di balik pohon besar yang ada di belakang tempat mereka berdiri.

Dengan sigap para warga beserta Gama dan Aziel menganyunkan senjata mereka ke arah bagian vital yang dapat membuat beberapa monster tumbang seketika. Tidak mati memang, tapi monster itu sudah tidak dapat melawan, bahkan mereka hanya bisa menggeram kesakitan, tanpa bisa bangkit berdiri.

Gama tersenyum sinis. Tanpa gemetar, ia maju kehadapan salah satu monster.

"Ini buat rasa sakit gue, kehilangan teman gue!" teriaknya lalu menusuk dua monster sekaligus dengan tombak di tangan kanan dan kirinya, tepat di bagian jantung. Meski Gama tidak tahu, apakah monster ini mengerti bahasa manusia atau tidak, ia hanya ingin melampiaskan amarahnya dengan berteriak.

Gama berkali-kali melakukan itu. Berteriak sembari mengumpat lalu menusuk monster itu. Entah kenapa setiap melihat monster ini bayangannya langsung tertuju pada tubuh sekarang temannya. Dan bagian yang paling menyakitkan adalah saat ia kembali teringat akan Dara, gadis yang sudah ia anggap adik, terkapar tak berdaya di panggkuannya karena para monster sialan ini. Tanpa sadar Gama menitikan air mata sambil terus melawan monster itu.

Aziel berdiri dengan busur di tangannya. Berbeda dengan Gama yang terlihat brutal, dia justru sangat tenang. Tangannya berkali-kali melesatkan anak panah demi anak panah tepat ke jantung monster itu. Bahkan di satu monster yang ia bunuh bisa terdapat lima busur menancap. Sejak di latih oleh Feri, Tio, dan David kemampuan memanah Aziel memang meningkat pesat, apalagi anak itu memang menyukai panahan dari usianya menginjak 12 tahun.

Tapi tiba-tiba salah seorang monster datang di belakang Aziel yang masih fokus mengarahkan busur panahnya. Monster itu mulai menganyunkan tangannya, tapi tiba-tiba dia jatuh tersungkur kebelakang membuat Aziel membalik badan dan terbelalak kaget. Ternyata pelakunya Brian. Lelaki itu dengan sigap melesatkan tombaknya ke arah sang monster saat melihat temannya dalam bahaya.

Aziel tersenyum. "Thank's Bri."

Brian tak menjawab, dia mendekat lalu mulai menusuk-nusuk monster itu, tak berapa lama monster mati dengan cairan hijau yang baunya memuakan.

"Gue gabung," ujar Brian. Dia lelah bersembunyi seperti pecundang, dia ingin ikut ambil andil dalam melawan monster itu.

"Tapi Bri, lo-"

"Gue gapapa," ujar Brian tegas, seolah tak ingin di bantah.

Aziel menghela napas, mengalah. Percuma dia menghalangi Brian, temannya itu sangat keras kepala.

"Jangan pake tombak, pake panah aja. Seegaknya lo bisa melawan monster itu tanpa perlu mendekat," ujar Aziel sambil menunjuk ke salah satu pohon, tempat ia meletakan panahannya.

Brian mengangguk lalu mengambil panah itu dan mulai bergabung di samping Aziel. Dengan lihai tangannya terus menerus melesatkan anak panah ke arah sang monster.

Kurang lebih sejam setelahnya peperangan benar-benar selesai. Semua selamat, nyaris tidak ada yang luka, hanya Bima--salah satu pemuda yang mengantar mereka kakinya tergores, itu juga bukan karena monster melainkan ranting pohon yang menghalangi langkahnya.

Mereka menyibak dedaunan di depan mereka membuat telaga indah itu terpampang nyata. Bahkan Zanna tak berkedip memandangnya, mulutnya pun sampai menganga. Mereka tak sangka, ada tempat sebagus ini di tempat yang menurut mereka terkutuk itu.

Sebelum benar-benar pergi, Brian selaku ketua berdiri di depan Tio dan Feri. Dia membungkukan badan beberapa saat lalu mengangkat kembali badanya, senyumnya mengembang, "Makasih," ucapnya tulus.

"Jangan balik-balik kesini," canda Tio lalu tergelak sendiri, entah apa yang lucu.

Feri dan para warga tersenyum lalu Feri menepuk bahu Brian dua kali, "Hati-hati di jalan," ujarnya dengan senyum paling tulus.

Setelah Brian mundur, Arumi maju kehadapan Tio membuat senyum Tio seletika memudar. Arumi berjongkok di hadapan Tio membuat pemuda itu langsung memalingkan wajah.

"Yo ... " panggil Arumi. Suaranya serak, Tio yakin betul gadis itu tengah menahan tangis. Dalam hati Tio mencibir 'Dasar gadis cengeng.'

"Yo ... to-tolong maafin aku ... " kali ini Arumi benar-benar menangis. Suaranya terdengar parau. Yang lain diam, tak ingin ikut campur.

"Ma-maaf Yo ... gara-gara aku kamu kehilangan David ... " Barulah dia menengok cepat ketika mendengar kata David. Ketika melihat Arumi yang menangis, cowok itu seketika ingat ucapan Feri tentang keingan terakhir David--menjaga Arumi.

"Bangun," ujar Tio.

Arumi tak bergeming, ia tetap pada posisinya. Dia tidak akan bangun sebelum Tio memaafkannya.

Tio menghela napas, "bangun, gue udah maafin lo," ujar Tio yang seketika membuat senyum Arumi terbit dan gadis itu langsung berdiri.

"Makasih," ujarnya tulus.

"Kita pamit," ucap Gama lalu mulai melangkah ke tengah telaga di ikuti yang lain. Para remaja itu masuk ke air terjun yang seketika menyerot tubuh mereka ke pusaran air yang begitu dasyat. Rasanya mirip dengan masuk ke putaran angin puting beliung, bedanya mungkin yang ini lebih dingin. Beberapa kali mereka mengeluarkan isi perut karena guncangan-guncangan yang begitu hebat. Bahkan Arkhan sampai tak mampu mengeluarkan apapun dari perutnya, hanya cairan putih yang bercampur dengan pusaran air.

Hingga beberapa menit kemudian, tubuh mereka terlempar kuat. Arkhan, Brian, Arumi, dan Zanna sudah terkapar tak sadarkan diri. Gama dan Aziel pun matanya sangat perat, namun sayup-sayup keduanya mendengar nama mereka di teriakan berkali-kali. Mata sayu keduanya melihat ke arah sekitar, mereka terdampar di pinggiran ... sungai? Lalu setelah itu keduanya jatuh tak sadarkan diri.

Teror Dunia SebrangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang