"Mereka kemana?" tanya Arumi.
"Ck, kenapa bisa terpencar."
"Tapi guys, kalo kalian nyadar mereka bertiga udah gak ada sebelum kita masuk jurang," ucap Adera.
Inshira mengangguk menanggapi. "Waktu Brian nanya siapa aja ada di sini, terbukti kita gak denger suara mereka, 'kan?"
Semua terdiam seakan baru menyadari. Pikiran mereka berkecamuk. Tentang ketiga teman yang kini hilang. Mereka takut kalo saja Arkhan, Aya dan Anes tengah melawan para monster itu atau bisa saja sudah terbunuh.
Tidak. Tidak akan. Jangan lagi dan jangan sampai. Semoga saja mereka hanya terpencar jalan.
"Eh, tapi gue sempat denger suara teriakan," ucap Aziel memecah keheningan. Semua pandangan mengarah padanya.
"Maksud lo bukan teriakkan waktu kita ngedorong mereka, 'kan?" kata Agam.
Aziel berdecak dan menggeleng. "Bukan. Lo tau kenapa gue berhenti lari dan lo tiba-tiba nabrak gue? Itu karna gue denger teriakan. Suara cewek. Tapi gue gak kenal itu suara siapa," jelas Aziel.
"A-apa itu suara Aya atau Anes?" tanya Zanna sedikit berat. Dia bener-bener resah sekarang.
"Mungkin ..." lirih Aziel membuat semua dirundung kegelisahan.
Brian mengacak rambutnya kasar, terlalu pusing dengan keadaan. Dia cemas, tentu saja. Memikirkan bagaimana nasib ketiga temannya sekarang.
"Kita jalan aja. Jangan berpikiran yang aneh. Semoga mereka bertiga baik-baik aja. Kita sambil mencari," titah Gama, lalu mengambil tasnya dan membawanya.
Brian juga memberitahukan pada mereka tetap berpegangan agar tidak ada lagi yang terpisah. Kini, mereka semua memutuskan untuk kembali berjalan, menjelajahi setiap isi hutan. Semoga saja, mereka nemukan titik terang dari perjalanan ini.
*****
Sudah sekitar 4 jam mereka berjalan mengelilingi hutan, namun ketiga temannya belum ketemu juga. Benar-benar hilang tanpa jejak. Mereka juga belum menemukan titik terang apapun. Mereka lelah, frustasi, takut, banyak rasa yang berkecambuk dalam diri mereka.
Gama menjambak rambutnya frustrasi, ia menggeram, "HAH! Di mana sih mereka! Gak tau apa, gue capek!"
"Gue juga capek kali gam, bukan lo doang," Sean menyahut.
"Diem lo!" ketus Gama.
"Gam," peringat Brian. Nadanya tidak tinggi, namun penuh penekanan.
Gama memandang Brian sesaat lalu beralih menendang pohon di sampingnya saking kesalnya.
"Kita istirahat di sini dulu," titah Agam.
Mereka istirahat di bawah bohon seperti biasanya. Lalu mulai memakan sisa makanan yang ada. Untunglah saat di perjalanan mereka menjumpai tas masing-masing, jadi masih bisa makan. Kalo di tanya cukup atau tidak, jelas tak cukup. Tapi biar bagaimanapun mereka harus hemat karena mereka sendiri tidak tahu akan berapa lama mereka di sini.
"Udah selesai semua makannya? Yuk, lanjut jalan," ujar Agam yang sudah berdiri.
"Nanti dulu Gam," Zanna menyahut tanpa memandang Agam. Matanya fokus pada sebuah pohon yang di tempeli cairan merah darah. Ia mendekat mengamati pohon itu. Namun, saat akan menyentuh pohon itu tangan seseorang menghentikannya. Zanna menoleh dan ternyata itu tangan Sean.
Sean menggeleng, "jangan Zan, gue takut pohon ini bahaya."
Zanna menggeleng tak setuju, ia melepas tangan Sean yang memegang tangannya. "Sean, ini cuma pohon."
Sean menghela napas, "oke deh, terserah."
Tangan Zanna kembali terulur menyentuh cairan merah darah yang ada di pohon itu. Kepalanya mengangguk angguk. Ia tersenyum, rasa penasarannya sudah terjawab. Cairan merah darah itu ternyata hanya getah.
"Yuk, lanjut jalan," ajak Zanna.
Mereka berjalan, namun baru beberapa menit berjalan, Zanna merasakan tangannya panas. Awalnya rasa panas itu masih bisa ia tahan, namun sekarang ia sudah tak tahan. Rasanya tangannya seperti terbakar.
"Akh! Panas!" pekik Zanna membuat yang lain berhenti dan menatap ke arahnya.
"Zan, lo kenapa?" tanya Adera
"Tangan gue, tangan gue panas banget, Ra," keluh Zanna. Ia mengibaskan tangannya, sesekali meniupnya.
"Gue bilang juga apa. Jangan sentuh, Zanna," sewot Sean yang tak di hiraukan Zanna. Ia masih sibuk dengan tangannya.
Sean memegang lengan Zanna. Di tangannya sudah ada sebotol air. Tanpa bicara apa-apa Sean langsung menuangkan air itu pada tangan kanan Zanna. Dan seketika tangan Zanna melepuh. Semua membelalakan mata, bahkan Sean menjatuhkan botol air itu.
Sean memundurkan langkahnya "Zann-" suaranya tercekat, ia tak bisa melanjutkan kalimatnya. Tentu saja ia syok, saat melihat dari dekat tangan Zanna yang langsung melepuh saat air menyentuh kulitnya.
Zanna tersenyum, "Kita lanjut jalan aja yuk, gue gapapa." Senyum dan kalimatnya sukses membuat Sean merasa bersalah. Ia melirik Zanna diam-diam. Menurutnya, lebih baik Zanna mengungkapkan rasa sakitnya atau menyalahkannya dari pada seperti ini, itu membuatnya makin merasa bersalah.
"Zan, tapi tangan lo?" tanyaArumi
Zanna menggeleng, "Seriusan gapapa. Gue bisa tahan."
Mereka melanjutkan jalan sampai matahari sudah benar-benar tenggelam.
"Jalan yang kiri apa yang kanan?" tanya Agam yang memimpin perjalanan.
"Kiri aja," sahut Gama, yang lain hanya mengangguk.
Mereka berjalan sekitar 20 menit. Dan saat itulah Inshira seperti melihat sesuatu. Sebuah bangunan yang masih tertutupi pepohonan.
"Apa itu rumah?" tanyanya. Membuat mereka mengikuti arah pandan Inshira. Mata mereka langsung berbinar melihat apa yang ada di depannya.
Benar. Itu sebuah rumah.
"Akhirnya. Kita akan selamat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Teror Dunia Sebrang
FantasyPercayakah kalian dengan adanya dunia lain? Dunia luar yang mungkin tidak kita ketahui. Jika memang benar-benar ada, bukankah tidak mustahil bagi ciptaan Tuhan yang satu ini? Lalu, apa jadinya jika tiba-tiba kalian terjebak di dunia yang tidak kalia...