ʙᴀɢɪᴀɴ ɪ : ᴀᴋᴜ ꜱᴀʟᴀʜ?

293 29 2
                                    

Sebelum membaca tekan bintangnya dulu ya
Sudah? Makasih >•<
Mampir juga ke work aku yang lain ya ^•^
Makasih lagi >•<

Sebelum membaca tekan bintangnya dulu yaSudah? Makasih >•<Mampir juga ke work aku yang lain ya ^•^Makasih lagi >•<

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Namaku Wildan Gavintra Pranaja, aku si kembar tengah di keluargaku. Kakak kembarku bernama Hildan Galantra Pranaja, dan adik kembarku bernama Jidan Geonatra Pranaja. Aku merasa lucu karena kita bertiga lahir bersama, aku pun sangat menyayangi mereka berdua terumata si bungsu, Jidan.

Jidan sangat menggemaskan apalagi ketika ia sedang kesal. Sejak kami kecil aku selalu menjahilinya, karena ekspresi saat kesalnya membuatku terhibur.

Oleh sebab itu aku selalu dimarahi Ibu karena membuat Jidan menangis sampai wajahnya memerah. Sebenarnya aku kasihan hanya saja wajah sembabnya membuatku semakin ingin menjahilinya terus.

Aku senang karena aku memiliki adik kembar selucu dan semenggemaskan Jidan. Aku pun sering bersekutu dengan Hildan untuk menjahili Jidan.

Meskipun aku sering membuat Jidan menangis, tapi Jidan tidak pernah marah ataupun membalas menjahiliku. Jidan terkesan menerima semua keusilan kami berdua.

Entahlah aku tidak tahu alasan dia seperti itu. Yang jelas aku selalu melihat wajah bahagia darinya saat kami tengah menjahilinya, walaupun disertai dengan rengekan bahkan tangisan. Aku pun tidak mengerti.

Dan hal tak terduga menimpa Jidan. Tiba-tiba dia kesulitan benafas, aku hanya bisa menangis dalam pelukan Hildan dan berdoa semoga tidak terjadi hal buruk yang menimpa Jidan.

Dan saat Ayah memberitahu Jidan harus mendapatkan perawatan di rumah sakit, aku selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Jidan sepulang sekolah dan meminta Ibu untuk mengantarku ke rumah sakit.

Selama di rawat disana aku tidak pernah melihat wajah Jidan yang ceria lagi. Yang ada hanya wajah pucat pasi nya.

Aku sempat menangis kencang saat Jidan kembali kambuh. Untung saja disana ada Hildan, dia selalu menenangkanku dan dengan cekatan memanggil dokter. Saat itu Ayah dan Ibu sedang keluar mencari makan siang untukku dan Hildan.

Hampir seminggu Jidan di rawat di rumah sakit, setelah diizinkan pulang pun Jidan masih harus mengistirahatkan tubuhnya.

Dari sanalah awal rasa kecewaku kepada Ayah dan Ibu muncul. Sejak Jidan sakit, mereka lebih mengutamakan Jidan daripada aku.

Pernah saat usiaku 8 tahun aku mengikuti lomba yang diadakan sekolahku. Dan aku meminta Ayah atau Ibu untuk datang melihatku, tapi penolakan yang aku dapat dari mereka.

"Maafkan Ayah, Nak. Hari ini Ayah ada rapat"

"Ibu juga harus mengantar Jidan ke rumah sakit untuk mengecek kondisinya"

Kalimat-kalimat itulah yang membuatku mulai tidak menyukai Jidan. Aku selalu berusaha menarik perhatian kedua orangtuaku, namun itu semua sia-sia. Jidan sukses menarik semua perhatian Ayah dan Ibu.

Aku merasa dilupakan. Aku merasa bukan bagian dari keluarga ini. Sampai suatu saat aku menumpahkan semua yang aku rasa dengan tangisan di tengah malam. Dan bertepatan saat itu Hildan memasuki kamarku. Aku pun menceritakan semua keluh kesahku padanya.

Dia menenangkanku dan berjanji akan selalu berada disampingku. Dan mulai sejak saat itu aku seperti ketergantungan padanya.

Ketika akun sakit pun aku selalu menolak jika Ayah atau Ibu bilang ingin merawatku, aku lebih memilih Hildan yang merawatku.

Dan aku selalu menolak jika Jidan mengajakku bermain, bahkan aku meminta Hildan untuk tidak menemani Jidan bermain. Wajar bukan? Aku hanya takut Hildan akan melupakanku seperti Ayah dan Ibu yang melupakanku karena Jidan.

10 tahun berlalu aku merasa sangat jauh dengan Jidan. Seperti ada benteng pembatas diantara kita.

Semakin beranjak dewasa pikiranku semakin terbuka. Aku tidak tahu kenapa aku bisa membenci Jidan. Setelah di pikir-pikir jika Ayah dan Ibu melupakanku mungkin sekarang aku tidak berada di rumah ini, mungkin aku berakhir di panti asuhan atau dijalanan.

Tapi tetap saja aku tidak suka saat mereka lebih mengutamakan Jidan dan mengesampingkan aku.

Entahlah, aku selalu marah setiap kali melihat Ayah dan Ibu yang lebih mementingkan Jidan. Seolah-olah aku ini bukan anak mereka.

Meskipun ada Hildan yang selalu berada disampingku, tapi aku merasa kekurangan kasih sayang. Apalagi dari kedua orangtuaku.

Sebenarnya aku menyadari perhatian-perhatian kecil yang diberikan Ayah dan Ibu. Tapi aku selalu menutup mata, pada akhirnya mereka akan tetap mengutamakn Jidan.

Apa aku salah jika merasa semua ini tidak adil? Apa aku salah jika ingin diperhatikan juga oleh Ayah dan Ibu? Kenapa aku merasa semua perhatian mereka hanya tercurahkan pada Jidan?

Sejujurnya dari lubuk hatiku paling dalam, aku ingin kembali ke masa-masa saat kita bertiga masih bermain bersama tanpa memikirkan 'masa depan'. Tapi setiap kali melihat wajah Jidan aku selalu teringat akan nasibku yang terlupakan.

Hildan pernah memintaku untuk berdamai dengan masa lalu. Namun saat pertama kali aku menconya, semua pikiran-pikiran buruk menghantuiku. Dilupakan. Ditinggalkan. Menyendiri. Semua ketakutanku datang silih berganti membuatku tetap pada menjadi aku yang sekarang.

Tetap menjadi diriku yang membangun benteng diantara diriku dan Jidan. Tetap menjadi diriku dengan bayang-bayang kesendirian.

Aku ingin berubah. Tapi aku terlalu takut untuk mencoba.

Haruskah aku menyerah dan semakin larut dalam lautan kebencianku pada Jidan?





TBC

Wonwoo side akhirnya debut maaf kalo ada typo hehe

Uhm, kalian ngerti gak permasalahan utama dari ketiga orang ini?

Aku gak tahu ceritaku ini bisa di pahami apa enggak

Mau tetep lanjut atau enggak?

Mau tetep lanjut atau enggak?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
❨✓❩ ɪ ᴡɪꜱʜ || ᴡᴏɴᴡᴏᴏ ꜱɪᴅᴇTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang