Karma (?)

8.3K 292 40
                                    

"Mama.. ada apa ma?"

"Kamu tadi udah terima anting kamu yang sebelah  kan, Sa?"

"Iya, Ma. Memangnya kenapa, Ma?"

Bu Sarah mengulurkan tangan, membuka genggaman. "Mama tidak perlu lagi menyimpan anting ini kan, Sa. Mama sudah lelah menutupi kebohongan kamu"

Elsa mengambil anting dari tangan Bu Sarah. "Mama tenang aja, Ma. Setelah ini semua selesai dan aku akan aman. Terimakasih sudah selalu bantu aku, dan selalu ada saat aku butuh ya, Ma"

"Mama harap setelah ini, kamu jangan bikin ulah lagi ya, Sa. Jantung mama gak kuat lama-lama ini, Sa"

"Iya, Ma. Aku janji setelah semua masalah ini selesai, aku akan jadi anak baik buat mama" 

Elsa menggenggam tangan Bu Sarah, berusaha meyakinkan dengan ucapannya, "Tetap jadi mama terbaik buat aku ya, Ma" ucapnya kemudian. Bu Sarah terlihat mengangguk, sepakat dengan permintaan putrinya.

"Jadi, mau kamu apakan anting itu, Sa?"

"Besok mau aku jual ma. Aku gak tenang kalau anting ini masih ada di dekat aku, Ma"

"Baik, Sa. Besok mama temani ya."

"Iya, Ma. Makasih ya, Ma"

***

"Nggak... nggak boleh, gak bisa.. ini gak bisa!" Elsa menghempas benda kecil karena panik.

Memang beberapa hari ini ia merasakan badannya sangat lelah tak seperti biasanya. Apalagi ditambah jadwal datang bulan yang tak kunjung tiba hingga ia merasa was-was dan mencoba untuk memeriksa urine nya dengan testpack yang semalam dibeli dari apotek.

Tetapi, setelah kekhawatirannya terjawab justru Elsa merasakan panik. Bagaimana tidak? Tespect itu menunjukkan dua garis merah. Padahal Nino sudah satu bulan lebih tak menyentuhnya. Otomatis ini akan menjadikan masalahnya semakin rumit.

Ditambah lagi masalah kebohongannya tentang anting yang membuat nino sangat marah hingga membuatnya menghadapi ambang perceraian. Memikirkan itu semua Elsa panik, bingung dan.. entahlah perasaan takut yang tak bisa digambarkan.

Elsa menangis. Ia terduduk lemas di sisi wastafel sudut kamar mandi. Ia meremas mengacak rambutnya hingga semakin berantakan tak beraturan. Membayangkan akhirnya saja sudah sangat menyakitkan bagi Elsa, entah bagaimana ia harus siap untuk menjalaninya.

Elsa terus menangis dalam sunyi. Ia menyembunyikan tangisnya agar tak terdengar penghuni lain di rumah itu. Elsa merasa masalahnya yang sebesar gunung tengah dipikul di kedua pundaknya. Sebisa mungkin ia akan menyembunyikan sampai ia bisa menemukan solusi bagi masalahnya.

"Apakah ini semua karma karena gue udah mendzolimi Mbak Andin?" Elsa bergumam sembari menyeka air matanya.

***

"Mas.. Mas Al.." Andin menggoyangkan pundak Aldebaran. Pria itu terlihat menggeliat.

"Hmmm.."

"Bangun mas" sekali lagi Andin menggoyangkan bahu suaminya.

"Hmm.. ada apa Ndin?"

"Mas.. banguuuun.. Mas Al!" Tepukan kali ini terasa lebih keras hingga membuat Aldebaran bangun untuk segera duduk.

"Kamu kenapa? Ada apa? Perut kamu sakit"

"Aku laper, mas. Maksud aku.. anak kita lapar" Andin memanyunkan bibir.

"Laper ya anak papa ya nak. Kamu mau makan apa nak?"

"Laperrr maaasss" Andin merengek manja. Air matanya keluar begitu saja. Memang sejak hamil sikapnya lebih kekanak-kanakan. Lebih sensitif tepatnya. Emosinya naik turun tak terkontrol. Wajar saja, dalam keadaan hamil hormon bisa berubah-ubah sesuai keadaan tubuh.

"Iya, kamu mau makan apa, Ndin?"

"Aku pengen nasi pakai urap pakai tahu bacem pakai telur..emmm.. nasi uduk enak juga, emm.. nasi padang enak juga sih mas." Andin berfikir. Seleranya sedang tak menentu. Yang jelas dia rasakan sekarang adalah rasa lapar.

"Jadi maunya makan apa?"

"Kamu kenapa jadi marah gitu mas?"

"Kok malah nangis? Saya gak marah." Aldebaran melihat bulir bening menetes dati sudut mata istrinya. "Udah jangan nangis. Saya gak marah. Saya cuma tanya maunya yang mana. Kalau disebutin semua begitu saya bingung yang mau dibeli yang mana" Aldebaran menyeka air mata Andin dengan ibu jari nya.

"Kamu bisa gak, gausah marah marah mas?"

Aldebaran menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia paham dengan kondisi Andin yang emosionalnya sedang naik turun.

"Udah ya, jangan nangis lagi. Jangan ngambek lagi. Saya pergi dulu. Saya akan beli semua yang kamu mau biar kamu bisa makan". Aldebaran berkata sangat hati-hati agar tidak terjadi kesalahpahaman lagi.

"Hmmm" Andin melihat suaminya beranjak keluar kamar.

- - -

10 menit kemudian...

Andin segera mengganti piyama nya dengan baju yang dirasa lebih rapi. Ia mengenakan dress hitam panjang selutut dikombinasikan dengan cardi rajut berwarna ungu muda. Sedikit mengoleskan lip cream dan menepukkan bedak tipis-tipis di wajahnya. Ia belum sempat mandi, jadi sebisa mungkin menyembunyikan wajah bantalnya.

Andin buru-buru keluar kamar menyusul suaminya.

***

Ikatan Cinta ArmadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang