Part 13: Launching

60 9 1
                                    

"Shafa!," panggil seseorang membuatku menoleh.

Ternyata yang memanggilku adalah Pak Akmal. Guru matematika yang katanya killer. Aku bilang katanya. Karena bagiku gak killer. Cuma denger dari Raffa dan Nadhifa. Kata mereka killer.

"Tolong nanti sampaikan ke Raffa. Untuk isi kelas sepuluh ipa tiga jam ke lima-enam. Saya ada rapat nanti siang."

"Iya, Pak. Nanti saya sampaikan. Ada lagi, Pak?"

"Itu saja. Selebihnya Raffa sudah tau, permisi," tuturnya kemudian pergi.

Pria paling to the point yang pernah aku temui ya ini, Akmal Khalish Alhusayn. Aku gak tau ini adalah salah satu cara untuk menghemat ucapan atau gimana. Yang pasti, bicara dengan type orang seperti ini jangan banyak becanda. Jangan bahas ini itu. Karena dari sejak pertama bertemu, irit banget bicaranya.

Ga tau istrinya sesabar apa.

Tapi anehnya cukup banyak bicara waktu dengan anak kecil. Salah satunya Athhar waktu sebulan yang lalu.

"Fa! Udah cek ig Star Night?" tanya Raffa yang baru datang setelah mengucapkan salam.

"Ada berita apa di ig?"

"Hari ini kan launching tempat baru. Wahh! Gak bukak grup. Buka live ig-nya bentar! Buat absen ke bang Gibran. Atau ke bang Irshad."

Aku bahkan lupa dengan hal itu. Sebenarnya seluruh pekerja di suruh hadir. Tapi karena aku dan Raffa tidak bisa hadir di peresmian kafe. Maka disuruh lihat live di instagram.

"Habis absen gak buka lagi, gak masalah kan?"

"Terserah! Ga masalah."

Jika saja Raffa tidak mengingatkanku. Mungkin akan bermasalah nanti sore. Resiko terbesar potong gaji. Hahaha! Gak sampe  gitu kok.

"Raf! Tadi ada pesan dari Pak Akmal. Suruh isi kelas sepuluh ipa tiga di jam lima-enam."

"Ipa tiga?"

"Iya. Ada apa emangnya?"

"Kelas cewek."

"Sabar ya, Raf!"

"Temenin mau gak? Biar aku gak jadi bahan bincang kejombloan," cetusnya mengambil makanan di meja.

"Lagi banyak tanggungan. Mohon maaf banget. Jomblo jangan dibikin stress. Bikin happy aja lah!"

"Lah! Selama ini aja udah happy," kelakarnya diiringi canda. "Ya tapi boleh kalo kamu mau nemenin. Biar murid yang di ajar fokusnya ke materi. Bukan yang ngajar."

Oh aku paham arah bicaranya. Yang dia maksud itu karena kejadian beberapa waktu lalu. Ya mungkin dia terlalu risih didekati banyak cewek. Dan yang mendekati anak SMA pula.

"Fa," panggil Raffa mengalihkan perhatianku. "Lo deket banget ya sama


"Di kasih tau Pak Akmal materi atau tugas gak?"

"Gak dikasih tau. Katanya kamu udah tau."

"Berarti materinya sama dengan kelas lain," tuturnya yang sudah paham maksudku.

___

Sesampainya di panti, aku dikejutkan oleh kehadiran Arwaa yang menangis. Aku pun langsung mendekatinya dan menanyakan apa yang terjadi.

"Ada apa?" Dia pun memilih untuk menghentikan tangisannya terlebih dahulu, baru menjawab pertanyaanku.

"Aydan-"

"Aydan kenapa? Jailin kamu lagi? Udah gak usah nangis," tuturku menghapus air matanya yang terus mengalir. Gadis kecil itu pun menggeleng lemah.

"Aydan pergi, hiks," jawabnya tersedu-sedu.

"Maksudnya gimana, Wa? Coba nangisnya diam dulu, terus jelasin ke kak Shafa," pintaku pada Arwaa. Gadis kecil itu mengusap air matanya sebelum menjelaskan.

"Aydan pergi. Aydan dibawa orang tua barunya," jelas Arwaa kembali tersedu-sedu.

Aku langsung celingukan mencari keberadaan Aydan. Dia tidak ada di sini. Itu artinya apa yang dikatakan Arwaa benar. Tapi sebelum aku memastikan di data. Aku tetap belum percaya.

"Aydan? Beneran Wa?" Arwaa pun mengangguk lemah.

Kita memang bukan saudara kandung. Bahkan tidak ada ikatan darah sama sekali. Tapi ikatan batin di antara satu sama lain itu kuat. Ayah dan bunda selalu mengajarkan kepada kita jika itu keluarga. Susah satu susah semua. Bahagia satu ya bahagia semua.

Aydan itu biasanya paling ramein waktu kumpul. Tidak menduga sama sekali jika ia akan di angkat oleh orang tua barunya. Bukan tak suka dia mendapat kebahagiaan. Tapi sedihnya karena gak bisa ketemu lagi. Mungkin bisa, tapi tidak seperti biasanya.

"Tadi Aydan bilang ke Arwaa. Katanya, Arwaa suruh jaga diri. Kalo Athhar jail jangan nangis, dibalas aja," lirih Arwaa. "Setelah itu Aydan pergi dengan ayah barunya."

Astaghfirullah anak kecil udah baper-baperan!

Belum juga SD udah kayak gini. Gimana kalo udah gede? Dan parahnya baperin kemudian pergi. Bikin nyesek gak tuh!?

"Udah jangan nangis lagi. Aydan udah sama keluarga barunya. Arwaa seneng kan kalo Aydan bahagia?"

"Arwaa seneng. Tapi nanti gak ada yang jailin Arwaa lagi. Gak ada yang berisik lagi."

"Biasanya nangis waktu dijailin. Sekarang malah pengen dijailin. Gimana sih?" cetusku menggendongnya. Anak itu sekarang malah cengengesan sendiri.

"Udah malam ini. Tidur gih!" titahku pada Arwaa. "Atau mau tidur di kamar kak Shafa?"

"Boleh?"

"Nggak boleh lah!" jawabku seketika membuat tawanya pudar.

Ya gimana ya. Bukan takut barang-barangku brantakan. Tapi takut barang-barang pribadiku terbongkar.

Setelah memastikan Arwaa tertidur. Barulah aku menaruh tas, kemudian ke kantor untuk melihat data. Tadi sempat ke kamar Aydan. Tapi ya masih gak percaya aja.

"Ada apa, Fa? Malam-malam gini cari apa?" tanya bunda membuatku terkejut.

Ruang ini awalnya sudah dimatikan lampunya. Ya emang udah malam sih. Dan malam-malam gini aku membongkar buku untuk mencari keberadaan Aydan.

"Aydan beneran di asuh orang lain, Bun?"

"Berarti kamu obrak-abrik meja cuma buat cari data Aydan?" tanya bunda mengamati meja yang berantakan. Aku hanya cengengesan kemudian menggagguk polos.

"Beneran, bun?"

"Iya bener. Tadi ada orang mau asuh anak. Dan yang di pilih Aydan. Kasihan mereka. Lima tahun tidak di karuniai anak. Bunda pernah di posisi mereka, sepi rasanya. Jadi teringat dulu kalo lihat mereka," jawab bunda lirih. Kalo gini kan bawaannya jadi mewek. Aku bingung mau respon gimana.

"Kamu tau darimana kalo Aydan di asuh orang lain?"

"Di kasih tau Arwaa tadi."

"Dua anak itu lengket banget. Kadang bunda takut kalo mereka terlalu deket. Ya meskipun masih kecil sih. Tapi bunda tetap takut. Alhamdulillah, dengan jalan ini mereka sedikit terpisah."

Benar apa yang dikatakan bunda. Terlalu beresiko jika terlalu dekat. Aku dan bang Faiq aja yang gak sedekat Aydan dan Arwaa bisa baper. Eh, salah! Cuma aku yang baper. Bang Faiq nggak. Dia cuma anggap aku sebagai adiknya. Aku saja yang salah dalam mengartikan rasa.

"Iya juga sih, Bun. Lengket banget mereka."

"Yaudah. Kamu mau ngapain lagi di sini? Mau tidur di ruangan ini?" tanya bunda dengan candanya.

Aku hanya cengengesan bingung mau melakukan apa. Tadinya mau cari kepastian tentang Aydan. Tapi jika bersumber dari bunda itu lebih terpercaya.

"Jangan lupa beresin meja yang sudah kamu obrak-abrik!"

"Siap, Bunda!"

Bahkan Aydan tak sempat berpamitan denganku. Ya iyalah! Kamu seharian gak di rumah!

Pilihan AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang