Part 9: Pindah Kerja?

70 9 2
                                    

"Gak semua orang seberuntung kita"
____

"Fa! Katanya bakal ada anak baru ya?" tanya Teh Tisha. Yang dimaksud anak baru di sini adalah pekerja baru. Bukan murid baru. Ini tempat kerja. Bukan sekolah.

"Aku kurang tau sih, Teh! Coba tanya Bang Fathan yang selalu update berita," jelasku. Bang Fathan memang terkenal selalu update setiap ada berita. Aku aja kalah.

"Hey!! Apaan sebut-sebut namaku?" Ini orang nyolotnya minta ampun.

"Denger-denger bakal ada anak baru? Bener gak?" tanya Teh Tisha.

"Bukan cuma anak baru. Tapi juga ada pekerjaan baru. Aku sih denger gitu dari Bang Gibran."

"Pekerjaan baru? Maksudnya?"

"Kurang tau. Baca grup gak? Nanti malam ada rapat. Lha nanti bakal di umumin di situ."

"Tinggal jawab aja lah, Bang! Pekerjaan baru gimana?"

"Aku sendiri juga kurang tau, Fa!" jawabnya. "Udah! Ada kostemer tuh! Aku tinggal dulu. Kamu isi ulang kopinya tuh! Banyak yang hampir habis."

Digantungkan dengan rasa penasaran itu menyebalkan!

Biasanya pulang kerja jam delapan. Namun karena ada rapat. Sedikit mundur. Rencananya pulang langsung nugas. Dan karena pulangnya mundur. Otomatis nugas ya ikutan mundur. Hasilnya begadang.

Aku tau begadang emang ga baik. Makanya dikit-dikit ngurangin. Cuma belum berhasil aja.

"Mungkin sebagian udah denger berita jika Coffe kita akan buka cabang baru. Dan itu cabang tersebut berada di Bandung. Peresmian cabang sekitar dua minggu lagi. Dihadiri langsung oleh Pak Bos," jelas Bang Gibran.

Pemilik Star Night Caffe memang terbilang jarang datang ke Caffe. Aku kenal beliau. Tapi rupanya beliau gak kenal aku. Mungkin sesekali datang ke sini hanya untuk melihat kinerja.

Dengar-dengar beliau itu super sibuk. Selain usaha di bidang perkopian juga usaha di bidang kuliner. Dan cabang usaha kulinernya pun tersebar di berbagai kota.

Gak perlu mikir pendapatannya! Sudah tentu banyak duit.

"Dimana cabangnya, Bang? Gak di sekitar sini kan?" tanya Nazeef.

"Letaknya di pinggir kota. Di sana jarang ada Caffe. Jadi peluangnya cukup bagus," jawabnya. "Dan sesuai keputusan Pak Bos, pekerjanya diambil dari Star Night pusat, yang tak lain ya tempat kerja kita ini."

"Berarti kita semua pindah kesana atau gimana?"

"Cuma dua anak yang pindah kesana. Lainnya tetap di sini."

"Dua anak handle satu Caffe? Ini karyawan bukan orang besar, Bang," protes Bang Fathan.

Beginilah kalau orang belum selesai bicara langsung disahut.

"Dengerin dulu lah!" bantahnya. "Di sini kan bisa dibilang kebanyakan barista. Itu memang sengaja dipersiapkan untuk cabang yang di sana. Agar dua barista pindah ke cabang. Eh empat deng. Yang satu dari shif pagi. Satunya keponakan pak bos."

"Semoga aku beda tempat kerja dengan Bang Fathan," celetuk Nazeef. Dua orang itu jika bersama sering adu mulut. Jadi wajar saja jika ingin beda tempat kerja.

"Semoga aja gitu!" tambah Bang Fathan.

"Zeef! Mohon maaf ya! Mohon maaf sekali! Untuk menjaga kerukunan antar karyawan. Kamu tetep bareng Fathan di sini. Yang di cabang baru Raffa sama Shafa," tutur bang Gibran.

Seketika wajah Nazeef berubah. Dan bang Fathan malah kegirangan.

"Akhirnya Raffa sama Nazeef di pisah!" seru Bang Fathan.

"Bentar, Bang! Berarti setelah peresmian pindah tempat kerja dong!?"

"Ya iyalah! Dan perlu kalian sadari. Kasirnya itu ponakannya Pak Bos. Jadi kurangi bobroknya! Atau akan tau sendiri akibatnya. Dia kayaknya baru belajar jadi barista. Agak sabar yaa."

"Gak bisa banyak becanda nih," komentar Raffa.

"Dan karena di cabang baru ini masih kecil. Jadi gak ada waiters. Tapi kalo kerja kita oke. Nanti juga ada pemberitahuan dari Pak Bos untuk penambahan karyawan."

"Bang! Yang dari shif pagi itu cowok atau cewek? Ponakannya Pak Bos itu cewek atau cowok?" tanyaku.

Aku gak mau cewe sendiri di antara karyawan. Cari aman. Emang nanti juga ga bakal sendiri karena ada pembeli cewek. Kalo lagi mau buka caffe? Lagi beres-beres sebelum pulang? Cewek sendiri dong!?

"Yang dari shif pagi itu cowo. Kalo ponakannya Pak Bos aku kurang tau, Fa."

Apakah ini artinya aku harus pindah kerja?

Sejak dulu aku benci dalam posisi ini. Menjadi satu-satunya wanita di antara pria itu gak aku sukai.

Di sini aku bertahan selain karena kebutuhan uang. Juga karena ada teh Tisha. Jadi ya aman.

Sampai rapat selesai pun aku tetap memikirkan hal itu. Jika keluar dari pekerjaan. Tentu akan susah mencari pekerjaan baru. Dapat pekerjaan ini aja udah Alhamdulillah.

"Jangan ngelamun mulu!" cetus Raffa mengambil tasnya yang berada di samping tasku. Ucapannya membuatku sadar jika aku sejak tadi melamun. Astaghfirullah!

Pria itu mengambil amplop cokelat dari dalam tasnya kemudian memberikan sebagian uangnya padaku. Aku yang gak paham ya tetep diam aja.

"Buat apa?"

"Bayar hutang," ujarnya sedikit becanda. "Mumpung baru gajian. Ada hutang langsung bayar. Tapi nyicil ya! Masih banyak keperluan yang lain."

"Kirain apaan, Raf!" kelakarku menerima uang tersebut.

Siapa yang paham ditodong uang lima lembar seratus ribuan tanpa bilang apa-apa. Ya gak paham lah!

Pria itu memilih bersandar pada tembok. Padahal sudah jam pulang. Sedangkan aku memilih mengecek barang-barang pribadiku karena takut ada yang tertinggal.

"Awas kesambet! Ngelamun mulu dari tadi!" ujarnya mengagetkanku.

"Siapa yang ngelamun sih?" elakku.

Aku telah berbohong!

"Yakin aja ponakan pak bos yang dimaksud bang Gibran itu cewek!"  kelakarnya. "Aku tau kamu gak mau kalo cewek sendiri."

Raffa punya indra ketujuh atau gimana sih ini? Bisa tau pikiranku. Peka banget jadi temen.

"Darimana kamu tau?"

"Keliatan dari gerak-gerik kali, Fa!"

"Keliatan banget ya?"

"Banget!"

Gimana bisa kelihatan gerak-gerik padahal sejak tadi aku diam.

"Raf!" panggilku.

"Hm," responnya tanpa mengalihkan pandangannya dari handphone.

"Kalo aku keluar dari Star Night gimana?"

"Ha?" Mendengar ucapanku Raffa langsung meletakkan handphonenya di meja."Ngapain harus keluar segala sih? Tau sendiri cari kerjaan itu susah, Fa! Ga mikir sampe situ?"

"Aku tau cari kerjaan itu susah. Dan dapat pekerjaan ini juga gak mudah. Tapi kayaknya konsekuensi yang harus aku tanggung lebih besar kalo tetap di sini."

"Seperti ucapanku tadi. Yakin aja kalo ponakan pak bos itu cewek!" tegasnya.

"Kalo cowok? Gimana?"

"Kalo cowok. Aku akan bantu bilang ke Bang Gibran agar kamu tuker sama Nazeef atau Bang Fathan," tuturnya.

Beruntung banget punya temen kayak dia. Bisa ngerti segala kondisi.

"Jangan keluar dari kerjaan ini. Gak semua orang seberuntung kita yang bisa dapat kerjaan yang baik."

Ini orang kenapa tiba-tiba jadi bijak gini?

"Alasannya? Ga logis kalo terus terang ngehindari posisi itu."

"Gampang! Nanti ngarang!" jawabnya santai dan segera berjalan menjauhiku. "Buruan pulang! Mau di kunci!"

Pilihan AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang