Part 16: Jaket

46 7 5
                                    

"Abang percaya kamu bisa jaga diri. Jangan rusak kepercayaan abang."

____

"Salah lagu atau gimana, Pak?" tanyaku pada Raffa.

"Ha?"

"Ya kali aja salah lagu. Biasanya galau. Tumben-tumbenan lagunya gitu."

Lagu yang biasa dinyanyikan Raffa itu lagu galau. Jadi heran aja kalo dia menyanyikan lagu kayak tadi.

"Ya kali aja calon istriku denger. Eh orangnya gak peka."

Sontak mendapat seruan dari teman-teman yang lain. Jika saja di sini ada Nazeef dan bang Fathan. Makin mantab.

"Pantesan aja, lagunya terkhususkan," cetusku.

"Emang udah punya?" tanya Teh Laila  membuat semuanya terdiam.

"Ya belum," cetusnya diiringi tawa. Yang lain pun ikut tertawa. Lebih tepatnya menertawakan Raffa.

Alhamdulillah acara sudah selesai jam setengah sembilan. Acaranya tadi memang dimulai ba'da maghrib. Jadi jam segini sudah selesai. Tapi selesai bersih-bersih ya sembilan.

Dan sepertinya tidak mungkin untuk acara sekolah seperti ini pulang sampai tengah malam. Pulang jam setengah sembilan kayak gini aja udah ngeri. Apalagi tengah malam.

Sengaja aku dan Nadhifa pulang barengan. Ya cari aman aja. Tapi kali ini dia tidak menunggu di halte lagi. Takut kali ya.

"Kak! Kak Shafa nyadar gak sih, kalo bang Raffa tadi lagunya buat kak Shafa?"

"Ha? Jangan ngada-ngada deh!" tuturku menasihatinya.

"Beneran kak! Aku gak bohong. Keliatan banget kalo lagu tadi ditujukan buat kak Shafa. Pas bang Raffa nyanyi. Yang dilihat itu kak Shafa. Bukan cuma aku yang sadar itu. Teman-temanku juga banyak yang bilang gitu."

Aku sama sekali gak kepikiran jika lagu itu ditujukan buat aku. Dari judulnya saja sudah membuatku sadar diri. Jelas gak mungkin lah.

Lagi pula penonton di situ banyak. Ratusan penonton! Bahkan bisa mencapai ribuan. Apa yakin jika yang dimaksud Raffa itu aku? Gak mungkin lah!

"Ada orang lain yang dimaksud Raffa. Dan itu bukan aku."

Tadi Raffa bilang tentang calon istri kan? Berarti memang untuk someone. Dan Nadhifa dengan mudahnya berkata seperti itu? Semoga Raffa gak tau.

"Ah, kak Shafa ini. Gak peka!" gerutunya. Aku langsung merangkulnya dan segera menuju tempat parkir.

"Mau langsung pulang. Atau mampir cari makanan?"

Biasanya kalo malam-malam gini. Makanan udah diserbu yang lain. Kadang aku pulang kerja aja udah tinggal satu porsi. Kalo pulang jam segini. Mungkin ya sudah habis. Makanya biasanya aku bawa bekal. Lebih tepatnya menyisihkan makanan. Hahaha!

"Cari makanan aja lah, kak. Dibeliin kak Shafa kan?"

"Iyaaa."

"Mie ayam ya!"

"Ya seadanya nanti. Udah malam soalnya. Jarang ruko yang buka. Star Night aja jam segini juga udah tutup."

Aku itu kalo lagi lapar. Ya seadanya makanan. Kalo adanya ini ya ini. Dengan alasan, malas ribet! Kalo menuruti pengen. Ya sampai putar-putar Bandung baru ketemu makanannya.

Nadhifa seneng banget waktu ada warung mie ayam masih buka. Dari deretan ruko, hanya satu ruko ini yang menjual makanan agar kenyang. Yang lain hanya pengganjal lapar. Dan Alhamdulillah lagi lagi sepi rukonya. Bahkan mungkin sebentar lagi udah tutup.

Pilihan AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang