Part 1: Adeknya Abang

411 38 73
                                    

"Karena Abang liat kamu penuh semangat. Abang malu kalo Adek Abang punya semangat besar, tapi Abang malah malas-malasan. Semangat Abang itu ada karena kamu. Kamu penyemangat Abang, Fa. Kamu itu kuat."
___

"Baarakallah fii umrik, Adeknya Abang!" teriak pria berbaju loreng. Aku menutup wajahku dengan tangan karena terkejut dengan kehadirannya.

Pria itu bernama Adzriel Faiq Alhanan. Pria yang aku anggap sebagai Abangku. Dia membawa kue tanpa lilin. Dan dikerubungi puluhan anak kecil.

Aku baru saja pulang kuliah dan dikejutkan dengan tingkahnya. Kepulangan dia kesini saja sudah membuatku bahagia. Apalagi membawa kue seperti ini.

Dia adalah anggota TNI. Tau sendiri tugasnya seperti apa. Gak perlu aku jelasin. Dulunya dia anak panti yang paling besar. Anak yang dipercaya untuk menjaga adek-adeknya. Dan kini tugasnya beralih ke aku semenjak dia masuk militer.

"Ciee yang sedang milad, sok-sokan malu," tambahnya. Aku menghapus air mataku yang tanpa sadar keluar.

"Abang kapan datang?" tanyaku menghampirinya.

"Barusan sampe, Fa. Demi surprise milad kamu."

"Beneran?" tanyaku meremehkan.

Anggap aja aku memang berbohong.  Meremehkannya disaat hatiku berbunga-bunga. Wanita mana yang tak suka jika laki-laki yang ia sukai pulang hanya untuk memberi surprise? Oh idaman.

"Beneran lah, Fa," jawabnya santai. "Ini kalian gak ada yang mau ngucapin ke kak Shafa?" tanyanya pada anak yang di sekitarnya.

"Baarakallah fii umrik, Kak Shafa," ucap mereka kompak. Mereka sangat lucu waktu mengucapkan itu. Menggemaskan. Tak terasa air mataku mengalir karena rasa haru. Suasana seperti ini yang membuatku tak ingin meninggalkan panti.

"Potong, gih! Mau dibagi!"

Aku memotong kue. Tapi mataku sibuk mencari sosok yang sangat berharga, Bunda Erina—Ibu panti.

"Bunda mana?"

"Di dalam tadi."

Setelah menemukan keberadaan Bunda aku memberikan potongan pertama pada bunda Erina. Setelah itu potongan kedua untuk Ayah Arif—Bapak panti.

"Baarakallah, Sayang. Semoga umurnya berkah. Ilmunya manfaat."

"Makasih, Bunda."

"Tau gak, Faiq nunggu kamu dari tadi. Nengokin gerbang mulu. Waktu kamu datang malah kelabakan."

Aku hanya bisa tertawa mendengarkan. Bang Faiq inget tanggal miladku. Sedangkan aku sendiri lupa itu. Sebenarnya itu bukan tanggal lahirku. Tapi tanggal aku di temukan Ayah Arif.

Akhirnya potongan ketiga aku berikan pada sang pemberi kue. Kasian dia jauh-jauh datang, tapi diberi potongan akhir. Setelah itu aku bagikan ke seluruh anak panti.

Bang Faiq meletakkan kue pada meja dan menggendong salah satu anak kecil. Mengoleskan krim ke jari kecilnya dan berlari ke arahku. Tapi aku tau siasat liciknya sebelum dia bertindak.

Aku berlari menghindarinya. "Bang, aku gak mau main kotor-kotoran ya. Itu krim ada telornya. Susah diilangin, Bang!"

"Gak peduli. Yang cuci baju kan kamu sendiri," bantahnya. "Dek, coret ke wajahnya kak Shafa!"

Sayangnya anak polos itu menurut saja. Bukan hanya itu anak-anak yang lain juga ikut mengoleskan krim. Bukan cuma wajah yang kotor. Tapi hijab navyku juga kena imbasnya.

***

My Superhero. Dia yang datang saat aku ketakutan. Ketakutan di pojok kelas saat aku di bully satu kelas.

Pilihan AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang