Part 3: Wanita Terbaik

170 18 3
                                    

Bukan memberi perhatian, hanya saja rasa kemanusiaan yang disalah artikan.

___

Setelah sekian lama, bau obat menyengat itu kembali tercium di hidungku. Belum lagi pemandangan yang berhubungan dengan medis. Memuakkan!

Sejak aku datang Raffa belum sadarkan diri. Banyak luka di sekujur tubuhnya. Bahkan perban putih itu melilit tangan kirinya.

Raffa berboncengan dengan Nazeef—teman kerjaku. Dan Raffa yang berada di belakang. Jadi Raffa lah yang paling parah. Sekarang Salwa menunggu di ruangan Nazeef dan aku menunggu di ruangan Raffa.

"Fa!" panggil Raffa pelan membuatku menatapnya.

"Sudah sadar? Bentar aku panggil dokter." Aku menekan tombol di samping brangkar untuk memanggil dokter.

Pria itu masih terkujur lemah di brangkarnya. Pribadinya yang ramah dan ceria, membuatku rindu dengan sikapnya. Dia yang menolong tanpa diminta. Yang membuat seisi ruangan menjadi berisik. Ya, itu dia.

"Sejak kapan di sini?" tanyanya setelah dokter pergi.

"Dari tadi sih."

Sejak datang aku sengaja menggeser kursi agar berada di dekat pintu. Meskipun ada cctv, pintu pun tak ku biarkan tertutup.

"Sendiri?"

"Sama Salwa tadi, sekarang dia nunggu Nazeef. Ntar paling kesini kalo keluarganya Nazeef udah datang," jelasku. "Mau duduk ya?"

Pria itu berusaha untuk duduk sendiri. Padahal tangan kirinya terpasang selang infus. Dan tangannya berusaha untuk menata bantal. Terlalu mandiri rupanya. 

Karena rasa kemanusiaan, aku membantunya menata bantal itu untuk sandarannya.

"Dinaikkan gak nih?"

"Gak perlu, segini aja. Makasih udah bantuin."

Beberapa detik kemudian sunyi, pandanganku tertuju pada luar ruangan. Lalu lalang manusia dengan kepentingannya masing-masing.

"Bukannya kamu hari ini ambil cuti? Abangmu nikah kan?" tanyanya lemah. Bahkan dengan kondisinya seperti ini masih ingat kalo aku cuti.

"Iya, aku gak ikut ke acara Bang Faiq."

"Demi aku?"

Dua kata mampu membuatku kembali terdiam. Waktu perjalanan kesini, aku berpikir. Rasa apa yang membuatku langsung mengambil langkah untuk kesini? Sekalipun Bang Faiq menghalangi, tapi rasanya ragaku ingin ke sini.

Aku sendiri tidak tau kenapa hatiku merasa iba dan langsung ke rumah sakit. Padahal ada acara penting. Tapi rasanya hatiku sendiri yang menuntunku ke sini.

Hatiku merasa terangsang ke rumah sakit saat tau Raffa kecelakaan.

"Kamu gak telpon ibuku kan? Terus kenapa bisa tau aku kecelakaan?" tanya Raffa mengalihkan pembicaraan.

"Aku gak tau nomor ibumu. Dan tadi aku ditelpon pihak rumah sakit," jelasku. "Sebenarnya kamu kasih nama kontakku apa sih? Bisa-bisanya aku di kira istri kamu. Terus kenapa pihak rumah sakit hubungi nomerku?"

"Tanda jodoh kali," sahut Salwa yang baru datang.

"Jangan aneh-aneh, Sal!" ancamku. Eh yang diancam malah tertawa.

"Galak amat, Neng! Lagi bad mood ya? Kayak lagi di tinggal nikah."

"Lah emang iya," celetukku asal.

Seketika Raffa dan Salwa diam menatapku. Emang ada yang salah dengan ucapanku?

Duhhh! Keceplosan!

"Beneran, Fa?" tanya Salwa ragu.

Pilihan AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang