Part 10: Lingkungan Baru

61 12 1
                                    

Bekerja di lingkungan yang mayoritas lelaki menjadi ujian tersendiri.
____

"Shafa! Ini jadwal kamu. Materinya tentang ini," tutur Bu Lutfana—guru agama.

Beliau adalah guru pembimbingku. Pertama kali ketemu langsung terpancar jiwa kebaikannya. Beliau baik banget. Semoga tiga bulan ke depan tetap lancar.

"Iya, Bu."

"Sudah tau kan, kamu di kelas mana saja?"

"Sudah, Bu."

SMA Cendekiawan. Jika dibilang besar. Sekolah ini termasuk besar. Mungkin bisa dibilang sekolah favorit. Sekolah dengan sejuta prestasi ini memiliki keunikan tersendiri. Sarana prasarana yang memadai tentu menjadi nilai tersendiri untuk sekolah ini.

Sebelum praktek di sini aku sudah mendengar banyak tentang sekolah ini dari Nadhifa. Ya dia sekolah di sini. Anak panti yang sekolah di sini hanya Nadhifa dan Farraz. Keduanya sama-sama anak ipa. Ipa yang biasa disebut mia atau mipa.

"Fa! Do'ain aku biar selamat," lirih Raffa sambil menata tumpukan file dihadapannya.

"Emang ada apa?" tanyaku khawatir.

Pikiranku sudah melayang pada peperangan. Karena yang biasanya seperti itu mau berangkat perang atau berjihad.

"Dapat guru pembimbing killer," ujarnya lirih. Aku menghembuskan nafas lega sekaligus kecewa. Hiperbola banget si Raffa.

"Kirain apaan, Raf!" lirihku. "Alhamdulillah kalo gitu."

Spontan Raffa memukul kepalaku dengan gulungan kertas yang ia bawa. "Sembarangan kalo ngomong. Temannya susah malah Alhamdulillah."

Aku mengaduh sambil mengelus kepalaku. Meskipun pelan tapi rasanya ya tetap sakit. Gimana gak sakit. Tumpukan kertas lebih dari dua centimeter. Digulung terus ditimpuk. Jelas sakit lah! Mentang-mentang kakinya udah sembuh. Udah mulai aktif timpuk-timpuk.

Tapi sakit itu hilang ketika melihat tawanya. Dia tertawa begitu bahagia. Bukan karena bahagianya bahagiaku. Melainkan sakit itu hilang karena berubah menjadi kesal.

"Fa! Aku kali ini minta ke kamu!" ujarnya serius. Sebagai teman yang baik. Jika temannya lagi serius. Kita juga harus serius. Jangan becanda. Becanda itu butuh waktu.

"Tolong panggil aku Fa! Atau Raffa! Kalo tanpa embel-embel," ingat Raffa. Sedikit menyesal sudah menanggapinya serius.

"Kalo gak mau!?" tanyaku jail.

Kali ini ekspresi kesalnya terlihat sekali. Rasanya ingin tertawa.

"Tolong lah, Fa! Cuma di sekolah saja! Di kampus, di caffe kamu panggil aku 'Raf' gapapa."

Permintaan pertama Raffa waktu awal praktek adalah sebutan. Dengan alasan masuk ke lingkungan baru biar gak dipanggil 'Raf'.

"Enakan manggil 'Raf'."

Ini gak bohong. Menurutku lebih nyaman memanggil dia 'Raf' daripada 'Fa'. Alasan kedua, biar gak sama seperti aku.

"Fa!"

"Raffa aja lah!" putusku untuk mengalah.

"Good! Lebih baik gitu!" pujinya.

"Tapi mohon maaf. Kalo keceplosan ya manggil 'Raf'."

"Ya jangan sampe keceplosan!" putusnya sebelum pergi keluar ruangan.

Dasar si Raffa! Namanya keceplosan itu gak sengaja Raf! Kalo sengaja namanya gak keceplosan.

"Emang ada apa dengan panggilan 'Raf'? Kan itu juga termasuk namanya," tanya Teh Laila—temanku.

Teh Laila satu jurusan dengan Raffa dan Nazeef, jurusan matematika pendidikan.

Pilihan AllahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang