Chance 5 || She is in the Past

644 94 7
                                    

Alif memasang raut serius bak orang yang hobi berpikir keras. Mata sipitnya memicing ke arah seorang laki-laki berkemeja hitam lengan panjang. Suasana kantin yang sepi di saat jarum jam menunjuk angka 16.15 WIB ini membuatnya leluasa untuk menggosip.

"Dok, kan aneh kalau Eira benci sama Dokter tanpa alasan." Mulailah ia membuka topik obrolan. "Dokter yakin nggak kenal dia?"

Galen berhenti menyendok sambal untuk sup iganya. Ia mendesah dengan wajah yang mencerminkan tidak ada harapan. "Nggak kenal, Alif Ba Ta Sa."

"Di masa lalu gitu? Coba Dokter ingat-ingat lagi," pancing Alif seraya menggulung lengan panjang kemeja cokelatnya.

"Nggak ada," jawab Galen. Ia kembali meramu sup iganya menggunakan kondimen untuk meningkatkan rasa dan selera makan.

Alif menyempatkan untuk memasukkan sepotong lontong di piringnya yang berisi tahu lontong lonceng. Rasa bumbu kacang di salah satu menu khas Malang ini terasa legit di lidah. Tambahan cincangan mentimun membuat bumbunya terasa segar. Ini sudah menjadi makanan favoritnya sejak menginjakkan kaki di Malang. Beruntung sekali dirinya karena kantin di gedung D ini memiliki menu tersebut.

Baru dua kunyahan, Alif bertanya, "Di masa sebelum kalian reinkarnasi mungkin?"

Galen terkekeh-kekeh mendengar bualan itu. Seumur-umur, dirinya tidak percaya tentang reinkarnasi. Hidup itu sekali, yakinnya.

"Kamu penasaran banget kenapa, sih?" Galen balik bertanya.

"Boleh jujur atau spoilerin aja nih?" Alif setengah menggoda.

Galen mendongak, mengalihkan pandangan dari menu makan siangnya ke arah wajah dengan alis tengah dinaikturunkan. "Kalau kamu masih mau di tim saya, ya jujur." Ia setengah mengancam.

Alif langsung memasang wajah memelas.  "Ampun, Dok!"

"Main-main kamu," celetuk Galen dengan memasang mimik intimidasi sebagai sandiwara.

Laki-laki yang belum pernah pacaran itu pun berdecak, lalu berujar, "Dokter nggak profesional itu namanya."

"Yang jadi ketua siapa?"

Alif mengalah. "Iya, iya deh. Saya mah cuma bawahan bak remahan wafer yang jatuh dari ayakan."

Galen nyaris tersedak karena kalimat itu mendatangkan gelombang gelak. Rasa pedas dari kuah sup dengan tiga sendok sambal menyusup ke rongga hidung. Membuat organ pernapasan tersebut terasa pedih.

Alif menyodorkan minum miliknya. Tanpa diteliti, Galen langsung saja menerima. Alif menahan tawa karena kebaikannya itu memiliki maksud tersembunyi.

"Buruan bilang! Mana udah bikin saya keselek," cakap Galen yang belum sadar si pemilik minuman es jeruk itu.

"Kenapa saya penasaran? Ya itu karena saya merasa kenal banget sama Eira. Dia nggak bakal diamin orang kalau nggak saking sakit hati, Dok! Di sini saya merasa ganjal aja. Kalau kalian baru ketemu di rumah sakit ini, terus kenapa Eira bisa bersikap kayak gitu ke Dokter? Bahkan dari awal ketemu." Kali ini tidak ada raut jail barang segaris di wajah Alif. Kata-kata itu sungguh dari pikiran yang menangsel hati.

"Kecilin dikit volumemu!" peringat laki-laki yang menggerus es batu di mulut saat mendengar rangkaian kata tersebut. Ia menegur karena Alif bicara dengan terlalu semangat  dan ekspresif. Lagaknya sudah seperti orang debat.

Alif berdeham, lalu mengangkat tangan kanan. "Sorry," lirihnya.

Galen memajukan badan. "Kamu sok kenal banget sama Eira. Kalian kan nggak satu angkatan."

"Satu angkatan belum tentu kenal dekat dan beda angkatan belum tentu nggak kenal dekat. Kan saya udah pernah cerita kalau Eira itu asdos di angkatan saya," terang Alif.

"Iya, saya ingat itu," sahut Galen.

"Ya dari situ saya tahu Eira," aku Alif sebelum menceritakan lebih detail tentang masa lalunya yang kelam sampai pada akhirnya Eira menyeret ke dunia terang.

Dari situ, Galen jadi tahu jika Alif adalah anak dari seorang Dewi Ayuningtias, aktris populer sejak memasuki tahun 2000. Terkenal sebagai entertainer multitalenta dan juga pebisnis di bidang busana. Hampir di semua surat kabar maupun media lain mengulas kehidupannya dari berbagai segi. Banyak sekali yang memujinya.

Namun, bagaikan peribahasa; makin pohon tumbuh tinggi, makin kencang pula anginnya. Tidak semua orang menyukainya dan ada hal-hal miring yang tercipta. Mereka membicarakan topik-topik negatif tentang ibu Alif hingga menekan sisi psikologis. Dewi tidak kuat batin hingga akhirnya meninggal dengan meminum pil tidur dalam jumlah tidak wajar.

Selain itu, Galen juga mendengar bagaimana tegasnya Eira saat menolong Alif. Bukan dengan kekerasan, melainkan omongan dan sedikit ancaman dengan nilai hingga para pembenci Alif mundur teratur.

Apa yang dilakukan Eira pada Alif--membela dan mengancam--menimbulkan sesuatu tidak nyaman di dalam dada Galen. Di dalam sana, ada hal entah apa yang memberontak ingin menampakkan diri. Namun, masih terlalu samar untuk dikenalinya. Ia berusaha mengeduk, tetapi  kesulitan karena kepalanya jadi sedikit pening. Yang ia temukan hanyalah sebatas sesuatu itu asing, tetapi merasa kenal.

"Waah! Eira memang cerdas," puji Galen dengan menyengir cerah, padahal kepalanya nyut-nyutan.

"Dan keren." Alif menambahkan. Ia sampai saat ini masih mengidolakan sosok Eira. "Eira penyelamat saya."

Bibir Galen berubah lurus mendengar sanjungan itu. "Penyelamat mbahmu!"

***&***
May, 11 20w1; 23.12 PM

Thank you,
Fiieureka

Chance to ChangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang