Chance 8 || Ingnoring You, Shall I?

104 7 5
                                    

Mendengar pengakuan Eira tentang Galen membuat Keinan bertanya, "Kenapa kamu enggak bersikap dingin ke aku?"

Eira tergelak singkat dan menggeleng-geleng. "Dokter beda dengannya."

Rasanya Keinan ingin membusungkan dada mendengar jawaban yang sangat memuaskan dari Eira. Ia seperti mendapat penilaian yang lebih unggul dibanding Galen. 

Berhubung mereka sudah di pinggir jalan raya, Keinan dan Eira berhenti mengobrol. Jalanan siang ini seperti biasa. Saat akan menyeberang, Keinan menggenggam lengan atas Eira. Kemudian, mereka menyeberang bersama.

"Memangnya apa yang membuatmu trauma?" tanya Keinan setelah berhasil menyeberang jalan raya. Ia melepaskan lengan atas Eira.

Eira mengulur waktu. Rasanya tidak nyaman menjelaskan karena suaranya akan  bersaing dengan kendaraan yang melintas. Akan lebih kondusif jika mengobrolnya sudah di dalam warung soto.

Mereka lantas memesan dua porsi soto daging plus nasi begitu sampai di tujuan. Kemudian, keduanya menempati bangku bakso berbahan kayu. Berhubung memang ini sudah jam makan siang, mereka harus rela lebih sabar untuk mendapatkan pesanan.

Di sela-sela penantian dengan cacing di perut berulah sesekali, Eira menyambung obrolan yang terputus tadi. "Sebelum aku cerita, Dokter harus janji bakal merahasiakan ini. Oke? Karena Alif dan Ruby aja enggak tahu masalahku dulu."

Wajah Keinan yang semua netral berubah serius dan antusias. Dengan sorot sungguh-sungguh, ia menyahut, "Oke. Lagi pula, kamu tahu sendiri kalau aku dekatnya cuma denganmu."

Eira tertegun sejenak dan membenarkan ucapan itu dalam hati. Yakin rahasianya akan aman, ia pun mulai membuka sedikit luka lama yang dibungkusnya serapi mungkin. "Aku dan Dokter Galen satu sekolah saat SMA. Dulu dia di-bully dan aku yang menolongnya. Karena trauma atau entah apa, dia pindah ke Korea. Hanya setahun karena saat tahun terakhir kami sekolah, dia kembali. Sikapnya berubah banget. Dia jadi biang onar dan sempat ikut tawuran."

Keinan menginterupsi sejenak. Ia menggenggam tangan Eira yang saling terkait di atas meja. Telapaknya langsung merespons rasa dingin dari tangan gadis tersebut. Posisi duduk mereka yang bersisian menghadap tembok memberinya sedikit keuntungan. Paling tidak, apa yang dilakukannya tidak mencolok di mata pengunjung warung soto.

Keinan tersenyum miring. Ada sorot meremehkan di sepasang matanya. "Galen tukang tawuran, tapi sekarang bisa jadi dokter. Hebat! "

Eira tahu itu bukanlah pujian sesungguhnya. Maka dari itu, ia mengangguk. "Betul, dia hebat. Dulu sesat, sekarang tobat. Dulu tukang melukai, sekarang justru mengobati," tukasnya dengan ekspresi ketus yang sangat kentara.

Keinan mendengkus samar mendengarnya. Muncul senyuman miring di bibir merah muda pucatnya.

"Saat itu aku sedang jalan pulang mau menunggu angkot dan bertemu gerombolan anak-anak tawuran. Aku tertabrak oleh mereka karena aku memakai headset dengan volume keras. Salahku juga sih karena enggak hati-hati. Pada akhirnya, aku telat menarik diri dari tengah-tengah mereka yang berlarian."

Saat Eira mengambil jeda untuk melonggarkan paru-paru, pesanan mereka datang.

"Kamu terluka?" tanya Keinan sembari mengucurkan air jeruk limau ke soto yang masih mengepulkan uap.

Eira mengacungkan sendok dengan rendah ke depan wajah Keinan. "Lebih parah, Dok---"

"Kei-nan. Kita sedang di luar," potong laki-laki itu tanpa ragu. Padahal, ia hanya spontan mengatakannya.

Aku pingsan, lalu terbangun di bangunan nonpermanen yang dulunya adalah warung kopi. Paling parahnya adalah ada laki-laki itu ... menindihku," terangnya.

Keinan menatap mata gadis di sampingnya dan mendapati kilat dendam. Tanpa bertanya pun dirinya tahu bahwa Eira belum bisa memaafkan Galen. Kemudian, ia membulatkan mata seraya bertanya, "Kejadiannya di Jalan Bungur, bukan?"

Pertanyaan tidak terduga itu membuat Eira membelalak. "Kok tahu?"

Sorot mata Keinan berubah cerah. Bibirnya menyunggingkan senyum langka. "Bukannya aku yang menemukanmu di sana?" Ia bertanya balik.

Gadis tinggi semampai itu berjengit kaget. Refleks ia membekap mulutnya yang menganga. 

________♧________

"Ra, makan siang di mana?" tanya Alif begitu masuk dan melihat sahabatnya sedang cuci tangan di wastafel yang dekat dari pintu ruangan.

"Warung soto depan," sahut Eira cuek. Ia melenggang pergi ke meja kerja saat melihat Galen di belakang Alif. Ia sempat melempar tatapan sinis dan Galen menangkapnya. Ia tidak peduli apa isi pikiran Galen tentang reaksinya barusan.

Sikap ketidakpedulian Eira yang sangat jelas itu justru menarik perhatian Galen. Dengan langkah cepat hingga mendahului Alif, Galen mendekati Eira yang tengah mengambil snelli di sandaran kursi kerja.

Eira tetap melanjutkan apa yang ingin dilakukannya seolah-olah Galen tidak ada. Namun, pada akhirnya ia memutar kepala saat Galen bertanya, "Kamu ada masalah apa dengan saya?"

Sontak beberapa rekan kerja yang ada di ruangan itu menoleh ke mereka berdua. Pertanyaan itu bak sebuah labrakan untuk Eira sendiri.

Dengan sorot tegas dan kesal, Galen bertitah, "Ke ruangan saya sekarang! Saya mau masalahnya selesai saat ini juga."

Detik ini di mata para rekan kerjanya, tidak ada Galen yang santai. Tidak ada Galen yang ramah. Kali ini auranya mirip Keinan yang sedang marah.

Eira sedikit terlonjak, tetapi mampu bersikap tenang. Ia mengikuti Galen ke ruangan, tetapi terinterupsi oleh seseorang yang entah sejak kapan ada di dekat Alif. Berjarak hanya beberapa meter dari Alif.

"Ra, ponsel kita tertukar." Keinan menjulurkan tangan kanannya.

Segera Eira menerima benda itu, lalu mengeceknya dan benar saja. Ia lantas berjalan ke meja kerja di mana dirinya meninggalkan ponsel yang tadi dibawa dari warung soto. Pasti ponsel mereka tertukar saat sedang di sana tadi.

"Sorry," tukas Eira sambil mengembalikan ponsel milik Keinan.

"Nope."

Alif dan beberapa rekan yang curi-curi pandang pada interaksi dua manusia itu memendam heran, termasuk Galen yang berdiri di dalam ruangan dan melihat mereka dari balik sekat kaca. Pasalnya, ada senyum tipis yang terlukis di bibir Keinan. Bahkan Alif melihat kedua telinga Keinan yang caplang itu memerah.

Galen mendengkus, merasa tidak biasa dengan ekspresi teman sejawatnya itu. Ada gumpalan penasaran yang menyusup ke hati. Dari sudut pandangnya, Keinan dan Eira tampak lebih akrab. Seketika dirinya menggeleng, coba mengenyahkan pikiran tidak penting itu dari otak. Namun, hal itu terus mengganggu sampai tidak sadar bahwa Eira sudah berdiri di hadapannya entah sejak kapan.


06 MEI 2024

Thanks for reading,

Fiieureka

Chance to ChangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang