"Dokter nggak terima saya muji Eira?"
Galen menoleh dan menatap tajam lawan bicaranya. "Dia itu lebih tua darimu, tahu? Masa manggil nama doang," protesnya.
"Lah! Emang kenapa? Orang dulu Eira sendiri yang minta. Saya mah senang-senang aja. Lagian nih, Dok, perasaan tuh nggak mandang umur," jawab Alif dengan santai, tetapi yakin.
Mata Galen yang sipit berubah bentuk hingga hampir menyerupai bulan purnama. "Kok bawa-bawa perasaan?"
Alif tersenyum miring dan menyahut, "Kenapa? Dokter cemburu?"
Dialog-dialog itu masih berputar bagaikan kaset rusak di benak Galen meskipun dua hari telah berlalu. Terlebih lagi di pertanyaan Alif tersebut. Saat itu dirinya mengelak keras karena yakin akan hati yang tidak melangkah sejauh itu.
"Kalau kamu nggak kuat, bareng aku aja."
Potongan percakapan itu mengalihkan fokus Galen dari mempertanyakan ulang perasaannya. Ia sangat familier dengan suara itu. Kalimat tersebut terasa mengganjal. Ada tarikan khusus hingga membuatnya menoleh tanpa pikir panjang. Sepasang manusia tengah bercengkerama di lorong seberang tempatnya berdiri.
Si perempuan nampak cuek menanggapi ajakan tersebut. Wajahnya terlihat natural meski ada gurat lelah yang jelas. Jas putih dinasnya sudah tidak menempel di tubuh. Membuat kemeja lengan pendek berbahan wolfisnya terekspose sempurna. Di sampingnya, ada laki-laki yang lebih tinggi 25 centimeter.
"Si Hijaiah (Alif) sok manis banget sama Sandal Jepit," cibir Galen seraya berjalan searah dengan mereka. Matanya melirik sekali lagi sebelum berlagak tidak peduli sama sekali.
Galen bertemu Eira dan Alif saat mengarah ke lift. Alif menaikkan tangan kanan, tersenyum selebar mungkin, dan memancarkan aura keramahan saat melihat dirinya. Ia hanya menaikkan satu sudut bibir, lalu menurunkan pandangan ke kaki Eira.
"Tetap, ya, pakai sandal jepit!" celetuknya, lalu melirik Eira.
Perempuan tersebut langsung tahu bahwa yang dimaksud oleh Galen adalah dirinya. "Masalah? Toh udah selesai kerja," balasnya dengan nada bak ingin menarik pelatuk tanda perang dimulai.
Galen yang mendapat tanggapan tidak nyaman itu pun meraup muka dan berkata, "Astagaaa!"
Eira menoleh ke arahnya dengan memberi tatapan yang seolah berkata, "Masalah buat lo?"
Galen mengubah posisi menjadi menghadap Eira. Wajahnya nampak menahan luapan api di dada. Ia mengangkat telunjuk kanan dan mengarahkan ke perempuan yang kini terlihat santai menunggu pintu lift terbuka.
"Kamu ... saya baik-baikin masih aja begini," komentarnya.
Sontak Alif menoleh dan melebarkan mata ke arah Galen. Sementara itu, perempuan di sampingnya menoleh dengan mulut menganga.
Menyaksikan reaksi kedua rekannya yang seperti tidak percaya atau ... syok (?) itu, Galen bingung. Ia mengarahkan bola mata beriris cokelat tuanya ke Alif sementara bibirnya bergerak membentuk kata "apa?".
"Yang dihafalin cuma kamus Dorland ya begini nih bentukannya," celetuk Eira santai sembari menatap lurus ke pintu besi.
Tidak terima dengan ucapan tersebut, Galen menyahut, "Maksudmu apa?"
Demi menjaga kedamaian dan ketertiban seluruh menjuru lantai di mana mereka berpijak, Alif maju. Ia pun mendorong Galen hingga menjauh dari Eira.
"Dok, kita ngobrol dulu sebentar, yuk!"
"Eh, ta--!"
"Udah, nurut aja! Penting ini, pentiiing." Alif memotong ucapan Galen. Ia menggamit lengan kanan Galen sembari setengah menarik untuk ikut dengannya. Buru-buru dirinya menambahkan dengan berkata, "Demi lantai di sini tetap adem, ayem, tentrem, kalem."

KAMU SEDANG MEMBACA
Chance to Change
RomanceRasa bersalah yang terabaikan seiring berlalunya waktu membuat Galen tidak mengenali salah satu korban bully-nya semasa SMA, Eira. Di sisi lain, Eira hanya butuh waktu beberapa detik untuk mengenali Galen saat mereka dipertemukan lagi di RS Lovelett...