Chance 3 || Cruel Girl

413 84 1
                                    

Di ruang istirahat dokter, Eira diapit oleh Alif dan Ruby. Pasangan tukang gosip tersebut menatapnya dengan tajam. Eira bingung karena mereka berdua menyeretnya secara tiba-tiba.

"Eh!" sentak Eira pada dua orang itu. "Kalian berdua mau apa, sih?"

Ruby menyibak rambut curly gantungnya yang sedang tergerai. Ia mengendikkan dagu, memberi isyarat Alif untuk membuka penjelasan pada sahabat tercinta mereka.

"Kamu ada masalah apa, sih, sama Dokter Galen?" Tidak terhitung lagi Alif melontarkan rangkaian kata itu pada Eira. Meskipun selalu mendapat jawaban nihil, tetapi rasa penasaran berhasil mempertahankan semangatnya untuk terus mengulik.

Eira mengusut rambut poninya yang lari dari balik telinga. Ia menghela napas penat, lalu menatap Ruby dan Alif bergantian. "Kalian kapan bosannya, sih, nanyain itu mulu?" Bibirnya memberikan serangan balik secara verbal.

Suara Eira yang agak meninggi membuat Ruby mengangkat telunjuk ke bibir. Ia memberi tanda pada Eira untuk memelankan suara karena dua ranjang di ruangan ini sedang ada raga yang terlelap melepas lelah.

Eira tidak peduli. Ia bangkit dari ranjang, lalu melangkah ke arah pintu untuk meninggalkan mereka. Ruby dan Alif tidak tahu jika menceritakan kenyataan yang pernah menggores lembar kisah masa remajanya akan membuat lubang nestapa itu tergali kembali. Cukup Tuhan yang menghendakinya bertemu dengan Galen lagi.

Eira pikir, urusan mereka hanya sampai di sana. Eira kira, mereka tidak akan pernah punya urusan lagi apa pun itu setelah dirinya berhasil mendamaikan hati.
Eira harap, garis hidupnya dan milik Galen tidak lagi bersinggungan setelah laki-laki itu hilang entah ke mana bahkan sebelum UN berlangsung. Sayangnya, apa yang Eira perkirakan dan semogakan tidak semulus seperti yang ada di bayangan.

"Kamu masih nggak percaya sama kita?"

Pertanyaan syarat keraguan itu membuat kaki Eira yang beralas sandal milik mendiang ayahnya terhenti. Ia agak tidak nyaman mendengar rangkaian kata yang seperti bilah silet itu. Hatinya mencelus karena menjelma jadi orang jahat secara tiba-tiba.

Wajah tegang Eira berubah lemah. Ia membalikkan tubuh dan memberi sorot menyesal pada Ruby. Ia mendapati pancaran terluka dari perempuan modis di hadapannya.

"By, bukannya gitu," sergah Eira lirih.

Ruby berjalan ke arah luar dan menepis tangan Eira yang terjulur untuk menahannya.

Hanya sekali Eira berusaha sebab tahu Ruby orang yang sensitif. Suatu hal bisa menjadi masalah jika sedikit saja sahabatnya itu salah tangkap. Iya, seperti sekarang ini.

"Biar aku nanti yang bicara sama dia," tawar Alif sebelum menyusul perempuan berblouse hitam dengan pita besar di bagian depan yang sekaligus berfungsi sebagai kerah.

"Maaf," sesal Eira.

"Kapanpun kamu siap cerita, bisa datang ke kami. Kurasa, masalahmu dengan Dokter Galen nggak gampang." Meskipun penasaran masih menggerogoti, tetapi Alif dapat bersikap bijak.

Eira mengangguk seraya tersenyum tipis. Ia paham dari mana Alif bisa berkata seperti itu. Saat baru menjadi mahasiswa kedokteran jenjang sarjana, Alif pernah mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari para temannya. Alasannya hanya karena Alif anak dari seorang artis yang meninggal karena overdose. Sahabat laki-lakinya itu jadi kerap mendapat ejekan serta dikucilkan. Beberapa hal yang terjadi di masa-masa itu sulit untuk Alif ceritakan ke sembarang orang.

Mengembuskan napas capai, Eira pun meneruskan langkah keluar ruang istirahat dokter. Masih ada waktu 10 menit lagi sebelum jadwalnya untuk visit pasien. Saat berjalan menyusuri koridor menuju kantornya dengan lunglai, ia melihat seorang perawat ICU[3] sedang membawa beberapa berkas rekam medis.

"Bu Neni!" teriak Eira dari jarak 8 meter. Karena tidak sedang di depan pasien dan perempuan berjilbab ungu muda itu sudah memiliki dua anak, maka dirinya menyebut demikian. Ia pun berlari kecil hingga membuat dua sisi snellinya berkibar rendah.

"Ya, Dok?"

"Keluarga Pak Benhur udah datang atau belum?" Mengingat jam besuk akan dibuka setengah jam lagi, Eira bertanya.

"Saya pas turun ke sini, sih, belum kelihatan, Dok."

"Oh, ya udah! Nanti titip pesan aja, ya! Kalau walinya udah datang, tolong kasih tahu saya. Ada hal yang perlu saya sampaikan soalnya," ucap Eira.

"Siap, Dok!"

"Makasih, Bu."

Setelah percakapan mereka berakhir dan Suster Neni beranjak menjauh, Eira memegangi perut dan merasa kantuk mulai menyergap, padahal tadi sudah sarapan sereal dan kopi susu segelas besar. Berhubung memiliki waktu terbatas, ia memutuskan untuk makan cemilan dulu sebagai pengganjal perut. Untuk mempersingkat waktu, dirinya berlari.

Tiba di ruangan, Eira melesat ke meja kerjanya. Ia duduk di kursi berbantal empuknya, lalu merunduk untuk membuka kunci laci. Beberapa bungkus makanan ringan dan minuman kopi saset bermacam merek memenuhi ruang. Ia mengambil keripik pisang home made yang dari sebuah toko camilan di seberang RS Lovelette.

Saat membuka kemasan beningnya yang berlabel toko tersebut, matanya baru menangkap cup berisi kopi. Dari kemasannya yang berwarna putih dengan lingkaran kertas warna cokelat, Eira mengenalinya sebagai produk dari coffee shop lantai dasar di gedung D ini.

"Ben, kopi siapa ini?" Eira menunjuk benda yang dimaksud.

Suara "klik" berulang dari tetikus pun berhenti. Beni, salah satu residen tahun pertama, menjulurkan leher. "Mana, Dok?" Ia tidak melihatnya karena tertutup oleh komputer di meja Eira.

Eira akhirnya mengangkat gelas itu.

"Oh! Tadi Dokter Galen yang bawa-bawa itu. Mungkin dia salah naruh, Dok." Residen yang memiliki potongan tubuh bak tentara itu berspekulasi.

Mengingat Galen yang terus melancarkan aksi untuk mencoba akrab dengannya, Eira meragukan ucapan tersebut. Galen pasti sengaja meletakkan minuman hitam pekat itu di mejanya.

Setelah menikmati sedikit camilan dan menenggak segelas air putih dari dispenser, Eira mengambil kopi itu. Bukan untuk diminumnya, melainkan akan ia buang mungkin.

"Ben, kamu long shift, kan?" Eira berbelok mendekati Beni.

"Iya, Dok."

Eira menjulurkan tangan yang menggenggam pemberian Galen. Ia berubah pikiran untuk menyia-nyiakan minuman tidak berdosa itu. "Nih, minum!"

"Eh, tapi—"

"Kamu nggak suka kopinya?"

Suara yang tiba-tiba muncul membuat dua kepala itu menoleh. Entah Galen masuk ruangan tanpa suara ataukah mereka berdua yang telinganya sedang tidak peka.

Eira memelotot karena Galen terkesan bicara santai. "Saya nggak minta." Masa bodoh Beni memberi cap dirinya sebagai perempuan tidak tahu terima kasih. Toh memang beberapa orang sudah menilainya seperti itu gara-gara sikap dinginnya pada Galen dari awal bertemu.

"Tapi itu kopi saya belikan buat kamu." Galen berusaha mencegah niat Eira untuk memberikan minuman itu ke orang lain.

"Saya nggak butuh. Beni lebih butuh." Tanpa persetujuan siapa pun, Eira meletakkan cup itu di hadapan si residen. "Minum aja. Kalau nggak mau, terserah kalau mau dibuang."

____________________

[3] Ruang perawatan intensif

____________________

May, 8 2021; 03.33 AM

Thanks for your apreciation,
Fiieureka

Chance to ChangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang