Butuh usaha keras untuk meluluhkan hati yang kecewa.
**"Eira, Eira!" seru Galen dengan cepat. Kaki panjangnya berusaha menyamai langkah gadis tersebut yang melarikan diri dari hadapannya. Namun, gerakan Eira cenderung cepat bagi seorang perempuan.
Eira tidak peduli. Ia bergegas ke arah lift tanpa tahu harus keluar di lantai mana. Di otaknya hanya penuh dengan rencana lari dari Galen. Dadanya menyimpan gemuruh sementara sekujur tubuh terasa panas. Untung koridor sedang sepi sehingga ia bisa leluasa bertindak tanpa harus memikirkan image.
"Eira!" Galen mempercepat langkah.
Lima detik kemudian, usaha Galen berhasil. Tangan besarnya mencekal pergelangan tangan kiri Eira yang terdapat jam putih digital. Tindakannya membuat gadis tersebut balik badan, mendongak, dan menghadiahinya pelototan.
"Lepas!" desis Eira dengan sorot dingin.
"Eira, saya merasa perlu bicara sama kamu," ungkap Galen yang hanya mengendurkan cekalan.
Eira mengempaskan lengan sembari menyahut, "Kita di rumah sakit, jadi panggil saya Dokter Eira. Kita nggak sedekat itu sampai Dokter bisa manggil saya cuma pakai nama."
Galen tertegun. Untuk kesekian kali sejak awal mereka bertemu. Sikap Eira padanya sungguh tidak masuk akal. Setidaknya, itulah isi kepala Galen. Bagaimana tidak?
Mereka baru bertemu dan tidak saling kenal. Namun, sikap Eira sangat tidak bisa dimengertinya.
Tanpa menunggu respons dari lawan bicaranya, gadis itu kembali membuat sandal jepit di kakinya meninggalkan jejak menjauh dengan cepat.
Galen termenung sesaat. Lagi-lagi dirinya menemui jalur buntu saat coba mengurai kekusutan hubungannya dengan Eira. Ia pun mengacak rambut lurus lebatnya dengan frustrasi, lalu kembali ke kantor. Saat masuk dan menemukan seseorang tengah menatap layar komputer, ia mendekat.
"Dokter kenapa?" tanya Alif dengan menahan senyum geli. Pasalnya, wajah Galen saat ini seperti kain yang belum disetrika.
Galen mengendikkan dagu ke arag pintu. "Temenin saya ngopi, yuk!"
Senyum semringah Alif terbit. "Ditraktir, kan?"
Tidak ada cara lain, kecuali menjawab "iya" untuk bisa menarik Alif dari tengah-tengah pekerjaan. Laki-laki sepertinya yang pecinta makan ataupun sekadar ngemil akan sangat bersemangat jika ada orang yang membelikannya.
“Lif, saya beneran nggak ngerti sama sikap sahabatmu yang satu itu,” celetuk Galen saat mereka sedang di vending machine untuk mendapatkan kopi kalengan. Mata mereka masih harus on di sore menjelang malam ini karena sejam lagi harus ke ruang OK[2].
"Eira maksudnya?" Laki-laki yang lebih tinggi dari Galen itu mencari penegasan.
Galen menyempatkan diri untuk menyeruput kopi dingin berkalengnya, lantas melirik Alif seraya balik bertanya, "Siapa lagi kalau bukan dia?"
Alif mengangguk. Ia lantas menyejajari langkah Galen yang bergerak menuju ruang mereka di lantai lima.
"Saya beneran nggak habis akal kenapa Eira bisa ketus ke saya, padahal sikap dia ke yang lain ramah banget," sungut Galen dengan wajah menahan kesal. "Saya merasa jadi ketua tim yang nggak ada harga dirinya di depan anak buah sendiri. Maunya orang itu apa, sih, Lif?"
Sambil menikmati dinginnya cairan cokelat pekat yang membalut lidah, ia memikirkan sikap Eira pada Galen sejak awal bertemu.
Sudah sebulan lebih mereka ada dalam satu tim. Namun, tidak sekali pun Alif atau rekan lainnya melihat Eira merekahkan senyum tulus barang seinchi pun untuk Galen. Dari cara bicaranya pun ketus dan dingin. Membuat Galen bagaikan seorang penjahat yang buta akan kejahatannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chance to Change
RomansaRasa bersalah yang terabaikan seiring berlalunya waktu membuat Galen tidak mengenali salah satu korban bully-nya semasa SMA, Eira. Di sisi lain, Eira hanya butuh waktu beberapa detik untuk mengenali Galen saat mereka dipertemukan lagi di RS Lovelett...