Chance 1 || The Same Face

615 108 4
                                    

Denyut nadi itu menuntunmu pada sebuah perjumpaan yang pernah terlupakan.
**

"Dok, kenapa Dokter kelihatan semringah banget mau ketemu Eira, sih?" Alif bertanya saat dalam perjalanan mereka ke ruang meeting.

Tatapan beraura dingin milik Keinan langsung tertuju pada asistennya itu. Satu-satunya orang yang berani bertanya hal pribadi padanya hanyalah Alif si Biang Gosip. Meskipun kerap ia abaikan, rupanya rasa penasaran tidak membuat Alif bertanya di belakangnya.

Galen yang melihat interaksi tersebut pun menyela, "Lif, kamu kenal sama Dokter Eira? Kayaknya akrab banget." Ia berkata demikian karena Alif tidak menggunakan embel-embel "dokter".

Alif menampakkan senyum jail. Ia mengangkat telunjuk, lalu menggoyang-goyangkan di depan wajah Galen seraya menggeleng pelan. "No, no! Ini sangat rahasia."

"Halah, gayamu!" tanggap Galen sambil menarik kedua ujung stetoskop yang menggantung di leher Alif. Membuat posisi pemuda tersebut jadi agak menunduk.

Tiba di ruangan, mereka mengambil posisi. Bibir tipis kecil Keinan terangkat diam-diam saat pertanyaan Alif tadi kembali berputar di kepalanya.

Tadi saat saraf auditorinya[1] menangkap kembali nama Eira, memori masa putih abu-abunya terefleksi di benak. Sosok perempuan tomboi dan jagoan dari sekolah tetangga itu terbentuk jelas di pelupuk matanya.

Dulu saat mendengar kabar itu, dirinya tidak percaya karena penampilan Eira terlihat feminim. Namun, di satu titik waktu yang tidak terduga membuatnya percaya jika perilaku dan penampilan Eira sungguh antagonis.

Awal mendengar pengumuman tersebut, Keinan tidak yakin. Maksudnya, perempuan tersebut memang Eira yang pernah ia kenal ataukah bukan. Namun, ia jadi yakin saat membuka laci ingatan yang sudah usang tentang mereka di masa belia.

Apakah dia masih sama seperti yang dulu? Untaian kata tanya itu terlintas dalam batin. Rasa penasaran makin mengerip seiring detik yang mengantarkan mereka pada pertemuan lagi setelah empat belas tahun tidak bersua.

Sementara itu, rekan satu divisi yang berjarak empat kursi di deret yang sama dengannya nampak santai. Meskipun sama-sama merasa deru dada karena tidak sabar bertemu rekan baru, tetapi Galen tidak sepenasaran Keinan. Sebab, Galen belum ingat posisi Eira di masa lalunya. Tidak juga seperti Keinan yang terus memindai pintu ruangan, Galen tidak acuh dan lebih asyik berselancar di sosial media via ponsel.

Entah sudah berapa kali mata tajam nan dingin Keinan bergulir sesaat ke arah pintu. Sebenarnya, posisi duduknya yang menghadap Barat memberi keuntungan. Ia tidak perlu menoleh atau melirik karena pandangannya sudah lurus ke arah pintu. Namun, ketidaksabaran membuatnya melakukan gerakan mata yang berulang yang justru melelahkan saja.

"Ya elah, Dok! Sabar aja ngapa?" celetuk Alif yang menangkap basah gerak-gerik Keinan. Meskipun tetap terlihat stay cool, tetapi ketidaksabaran itu terlalu jelas tercermin di mata Keinan.

Keinan menoleh dan menatapnya tajam sekilas. Ia lantas menegakkan posisi duduk dan berdeham. Untuk menyamarkan apa yang dirasakan, ia mengoperasikan ponsel dengan tidak fokus.

Selama menunggu agenda dimulai, suara riuh mendominasi meskipun kursi yang mengelilingi meja kayu persegi panjang yang ada di tengah ruangan masih terisi 11 dari 18 kursi. Beberapa perwakilan tim dari divisi bedah lainnya masih belum nampak. Sementara itu, deretan kursi yang ada di belakang dekat dinding sudah penuh. Jelas saja karena itu adalah tempat untuk para residen. Mereka tidak berani terlambat maupun hadir mepet waktu atau nilai yang akan jadi taruhannya.

Saat penunjuk waktu berada di pukul 08.15 WIB dan seorang laki-laki tinggi tegap potongan tentara memasuki ruangan, semua terdiam. Seolah kehadirannya memiliki kekuatan magis untuk menjepit seluruh pita suara mereka.  Ia adalah dr. Anda Wicaksono, Sp. B, M. Kes; kepala bagian bedah sekaligus ayah dari Keinan Dwitama. Di belakangnya, dua perempuan dengan tinggi badan hampir sama mengekor.

Chance to ChangeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang