Seorang gadis dengan kantong mata yang terlihat samar tengah menjepit posel di telinga kiri. Sementara itu, mulutnya bergerak mencaci keterlambatannya berangkat kerja. Tidak ia hiraukan piring dan gelas yang masih kotor.
Eira mengepas sepatunya, lalu berjalan ke arah pintu. Saat ia balik badan, seorang laku-laki yang tidak asing temgah menatapnya.
"Dokter ngikutin saya?" Eira terbelalak galak.
"Enggak usah percaya diri!" ketus Galen. Meskipun raut wajah terlihat biasa saja, terdengar jelas ada penyangkalan di dalam suaranya.
Eira membuang muka dan mendecih. "Ngaku aja apa susahnya sih?" gerutunya.
Galen tersenyum miring. Ia lantas memamerkan sebuah kunci pintu dengan hang tag bertulis 311 tepat di wajah Eira. Tanpa mengimbuhi dengan kata-kata, ia tersenyum puas diam-diam kala melihat tatapan ketidakpercayaan di mata gadis itu.
"Kok bisa?" gumamnya lebih pada diri sendiri.
"Bukannya kalimat 'halo tetangga seberang!' lebih cocok, ya?" tukas Galen dengan tenang.
Eira mendesis dan menatap tidak suka pada Galen.
Masih dengan menyimpan senyum kemenangan, Galen melirik Eira dan perlahan berjalan menuju lift seraya berujar, "Terima ajalah kalau kita tetangga!"
Geram dengan Galen yang begitu santai menanggapi, Eira membuat gerakan menendang. Namun, sandal jepitnya meluncur dengan sangat indah di lantai apartemen yang tampak licin dan mengilap. Sandalnya seolah-olah menyusul langkah Galen.
Laki-laki berkaus sage polos dengan outer hitam itu berhenti jalan. Ia melirik sandal kuning dengan hiasan kepala kelinci di tengah selempang itu. Belum sempat bertindak, Eira sudah menarik benda itu dan memakainya kembali di kaki.
"Awas aja kalau di depan pasien pakai itu, apalagi pas operasi!" ancam Galen tanpa nada marah.
Eira yang sudah siap berjalan mendahului pun balik badan dan menghadiahi tatapan musuh ke arah Galen. "Awas aja Dokter sesumbar kalau kita bertetangga!" balasnya.
Galen menaikkan alis lebatnya. "Itu hak saya. Memangnya kenapa? Kamu takut Keinan tahu?" tanyanya sembari menyejajarkan langkah dengan gadis berblus hitam dengan aksen lis putih di kedua lengan dan sisi kancing itu.
"Ini enggak ada hubungannya dengan dia, Dok," sangkal Eira tegas.
"Lalu apa?" Galen mengejarnya.
Eira enggan menanggapi lagi. Dirinya memencet tombol turun begitu sampai di depan lift. Galen yang ikut berdiri di samping kanannya tidak ia pedulikan.
Hingga lift terbuka dan mereka masuk, tidak ada percakapan di antara keduanya. Sampai di lantai dasar, barulah Galen kembali buka suara. Ia menawari tumpangan pada Eira agar berangkat bersama.
"Enggak, saya bisa berangkat sendiri," sahut Eira sambil mengubek-ubek isi tas ransel kecilnya---mencari keberadaan kunci motor.
Galen memperhatikan sambil dalam hati berharap bahwa benda yang dicari Eira tidak ada. Beberapa saat kemudian, ia mulai tidak sabar. Melihat gerak-gerik Eira pun dirinya tahu bahwa kemungkinan besar gadis tersebut melupakan kunci motor.
"Udah siang, enggak ada waktu lagi," ujar Galen sambil membenarkan posisi tas ransel hitamnya yang tersampir di bahu kiri.
"Dokter duluan aja deh!" Eira masih tidak menghiraukan ajakan Galen.
Mulai hilang kesabaran, Galen mengambil alih tas Eira dengan sekali gerakan, lalu menutup ritsletingnya. Ia lantas menatap tegas Eira seraya berkata, "Saya janji enggak akan bilang kalau kita bertetangga asalkan kamu berangkat bareng saya."
Kepalang malas jika harus balik ke lantai 3 untuk mengambil kunci motor, Eira akhirnya setuju. "Oke, hari ini aja tapi."
Galen mengembalikan tas Eira. Tanpa menatap gadis di sampingnya, ia menyahut, "Kamu berharap saya ajak berangkat bareng tiap hari, ya?"
Eira memelotot spontan. Apa-apaan jawaban Galen itu?
"Enggak ada yang bilang begitu," sangkal Eira kesal.
Galen ingin terkikik geli, tetapi disembunyikan dalam hati saja. Jangan sampai ketahuan dan membuat Eira tersinggung!
Saat tiba di basemen tempat parkir mobil, Galen dan Eira berjalan lebih cepat. Mereka sama-sama tahu untuk tidak mengulur waktu lebih lama supaya tiba di rumah sakit tepat waktu.
"Ra, saya enggak bisa janji cuma hari ini mengajakmu bareng. Toh kita bertetangga enggak cuma hari ini, kan?"
Oh my God! Melihat dari sorot mata itu, Eira tahu bahwa hidupnya akan lebih mengesalkan dibanding hari-hari lalu. Ia punya firasat bahwa Galen akan memanfaatkan embel-embel "bertetangga" ini untuk menyetirnya.
Eira melemparkan senyum terpaksa. "Saya punya kaki, punya uang, dan punya kendaraan sendiri. Jadi, cukup hari ini aja," jawabnya.
Galen mengulum senyum seraya mulai melajukan mobil. "Tapi hari ini semua itu enggak berlaku."
Astaga! Lelah sangat Eira meladeni Galen yang terus memojokkannya. Sebelum hari ini datang, dirinya lebih banyak mengabaikan Galen karena ingin profesional di dalam pekerjaan. Ia tidak mau urusan pribadi di masa lalu---yang bahkan Galen tidak ingat---mempengaruhi pekerjaannya. Namun, pagi ini saat ia mencoba meladeni, Galen makin menyebalkan saja.
"Apa sih maunya Dokter?" tanyanya dengan alis berkerut dan air muka kesal.
10 Juni 2024
Thanks for readingFiieureka
KAMU SEDANG MEMBACA
Chance to Change
RomansaRasa bersalah yang terabaikan seiring berlalunya waktu membuat Galen tidak mengenali salah satu korban bully-nya semasa SMA, Eira. Di sisi lain, Eira hanya butuh waktu beberapa detik untuk mengenali Galen saat mereka dipertemukan lagi di RS Lovelett...