*Jurnal tentang dewi hujan
———*
Mereka berkata bahwa alam semesta itu luas dan tidak terbatas. Dari ujung langit hingga ke dalam inti bumi, dari berbagai jutaan bintang yang bertaburan di langit malam dalam putaran galaksi yang berpendar. Semuanya telah diatur sedemikian rupa sesuai dengan porsinya. Namun, terkadang banyak yang tidak sadar bahwa di setiap denyut nadi kehidupan tersimpan berbagai macam rahasia yang tak pernah dibuka dari kotak pandoranya.
Sekali lagi, seolah semua memang telah diatur. Bumi yang indah menampung segala keluh kesah para makhluk hidup. Bumi yang kadangkala merasa sakit dan sedih sebab terlalu sering disia-siakan. Bumi yang tanpa pamrih selalu memberi tanpa mengharap terima. Bumi yang memiliki penjaga—lebih tepatnya semua aspek di alam semesta ini memang memiliki penjaganya masing-masing.
Lalu tiba-tiba saja lembaran bertuliskan mangsi emas itu seketika menghilang sehingga menghasilkan bunyi bedebum yang cukup bising. Buku bersampul tebal itu ditutup dengan cara yang sangat tidak elegan oleh sang pelaku.
"Wow, membaca buku ini sungguhan membuatku sakit kepala." Menyerah, lalu si pelaku menggoyangkan buku itu sekali dan benda itu pun raib dari jemari.
Venoma, sang dewi hujan meringis memijat pelan kepalanya yang berdenyut dan ia kira sudah berasap tadi. Heran, mengapa pola pikir para penduduk bumi sangatlah rumit dan berbelit-belit sehingga menulis buku seperti buku yang baru saja dibacanya tadi. Baru membaca dua paragraf saja Venoma sudah pusing kepala apalagi jika menamatkan ratusan lembar tidak berakhlak itu—jangan bercanda haha.
Venoma hanya suka membaca novel roman picisan. Ah, memang karya terbaik yang dihasilkan oleh penduduk bumi yang satu itu tidak pernah mengecewakan. Dua jempol rasanya masih kurang bagi Venoma untuk mengapresiasi mereka yang suka sekali berhalusinasi. Ck, Venoma kira ia sudah terjangkit wabah halu para gadis bumi.
Sedang asyiknya berkhayal turun ke bumi, Venoma harus mendengar derap langkah yang kesannya tergesa-gesa. Tanpa melihat pun ia tentunya sudah hafal siapa gerangan yang telah memasuki lorong kamarnya sesuka hati.
Tepat saat pintu kamarnya yang transparan itu dibuka Venoma langsung berujar malas. "Ayah pasti ingin marah-marah padaku, kan?"
Virgo, sang dewa langit yang agung langsung berdecak. Heran sekali melihat tingkah putrinya yang semakin hari semakin menyebalkan ini. "Kenapa dalam dua bulan belakangan ini tidak menurunkan hujan di wilayah samudera pasifik?"
Venom mendengkus lalu menguap di atas ranjangnya. "Malas."
"Venom!"
"Ayah! Berhenti memenggal namaku seperti itu. Aku tidak suka!" Venoma menyela. Bukan main, mendengar namanya dipanggil begitu membuatnya seolah ia adalah binatang jelek yang mengeluarkan racun mematikan. Venoma bukan seperti itu, ia adalah sosok yang anggun dan berkharisma. Setiap tetes keringatnya serupa embun yang menyejukkan. Setiap tatap dan embusan yang ia keluarkan serupa berkah yang dipuja-puja oleh para dewa-dewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Dewi Hujan (On Going)
FantasyContains of Comedy+Romance+Fantasy. Bagaimana jikalau kamu sang dewi hujan yang kerap kali menurunkan hujan untuk penduduk bumi mendadak ditugaskan menjadi seorang mahasiswi di salah satu kampus agar mengikuti serangkaian kegiatan empat puluh hari...