Seperti kata pepatah bahwa langit memanggilnya tanah Nusantara.
Betul, langit memang memanggilnya sebagai tanah yang penuh dengan limpahan berkah. Apalagi kalau bukan bumi pertiwi ini, bumi yang kita jejaki. Lantas, bukankah sudah sepatutnya kita sebagai penerus bangsa untuk terus menjaga dan mempertahankan kelestariannya. Kendati ketidakpedulian juga menyebar sama luasnya.
Siang yang cukup teduh itu terhampar dari kejauhan, Rombongan KKN yang terdiri dari sembilan orang mengikuti jejak seorang pria paruh baya sebagai penuntun jalan, namanya Pak Anton. Salah satu dari pemilik lahan bersama yang ada di kaki bukit. Desa ini cukup unik, belum terlalu terjamah oleh rasa individualisme seperti kehidupan sosial yang ada di kota-kota besar. Mereka bersama-sama mengolah tanah dan saling membagi hasilnya sama rata.
Seperti itu lah yang ada dipikiran Rain jika ditanya bagaimana perilaku manusia di desa ini.
Mungkin nanti akan dirinya pertimbangkan untuk mengurangi intensitas panas. Dan ia akan tambahkan intensitas curah hujan agar hasil panen mereka melimpah ruah. Dilihat-lihat masyarakat yang ada di tempat ini, tidak terlalu mengecewakan. Ia akan sedikit bermurah hati.
Sementara itu, Zhevanya yang cerewet mulai sibuk membicarakan kebun yang akan mereka tuju. Mencuri dengar dari cerita Pak Anton bahwa ada banyak jenis tanaman yang ditanam dan ada beberapa jenis pula yang akan di panen pada hari ini. "Eh, katanya kebunnya banyak tomat sama cabai lho. Wah, kebayang dong, kita panen nanti seru banget! Mungkin gue bisa bikin sambel sendiri bisa ajak Rain juga nanti buat kasih komentar." Rain cukup tersenyum kecil mendengar Zhevanya yang ceria.
"Zheva, lo tuh kebanyakan ngomong," potong Monica dengan nada manja, sambil mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya. "Gue tuh mager banget, tapi ya mau gimana, udah janji mau ikut bantu. Daripada sendirian di posko."
"Gak heran sih," cibir Zhevanya lalu menjaga jarak dari Monica. Ia tidak mau makan hati karena kesal. Sudah manja, banyak tingkah, pemalas pula.
"Yaelah, Mon, udah deh namanya juga Kkn. Pengabdian ini tuh, malu dong, masa nanti empat puluh hari ke depan gak dapetin hasil apapun?" celetuk Jevan sambil tertawa.
Monica tersenyum masam. Dia bahkan tidak peduli dengan kkn ini. Dia hanya mau dapat sertifikasinya saja agar bisa cepat mengurus tugas akhir. Tapi mengingat nanti dosen pembina mereka sesekali akan memantau pada evaluasi mingguan. Jadi mau tak mau ia hanya bisa pasrah mengikuti rangkaian kegiatan.
Galang, yang berjalan di sebelah Jevan, ikut menimpali, "Kaya lo pro aja Jev, mending diam, daripada ngomong terus. Liat tangan lo, kayak orang nggak pernah kerja di kebun tuh."
"Heh, jangan anggap remeh ya. Gue nih atlet futsal, bos. Kebun mah kecil lah!" Jevan langsung membalas jemawa, namun jelas nadanya bercanda.
Pak Anton yang berjalan menuntun mereka tersenyum tipis, menoleh sekilas asal muasal suara yang bising di belakangnya. Ah, indahnya masa muda. "Ayo, anak-anak, kebunnya ada di depan. Perjalanannya nggak terlalu jauh kok, paling tinggal sepuluh menit lagi."
Mereka pun berjalan beriringan menyusuri jalan setapak menuju kaki bukit. Guska, Nakula, dan Merynda berjalan di depan bersama Pak Anton, mendengarkan bapak itu sesekali menjelaskan soal kebunnya dan sudah berapa lama mereka menghabiskan waktu membuka lahan perkebunan.
Di tengah rombongan, Zhevanya terus mengoceh soal rencananya untuk masak nanti malam, sementara Monica juga sibuk mengeluh berkata berapa lama lagi waktunya untuk sampai.
Di belakang, Jevan dan Galang tetap asyik berdebat soal siapa yang lebih kuat di antara mereka. Suara tawa mereka berbaur dengan obrolan lain.
Sedangkan Rimba yang berjalan lebih cepat mendadak memelankan jejaknya ke samping Rain, hanya untuk melihat gadis itu merengut lagi. Ia pikir gadis ini sering kali cemberut jika berada di sekitarnya. Terutama dalam jangkauan matanya. Sambil berdeham, "Ehm, Lo beneran jago masak, kan?" tanya Rimba, membuat Rain menghela napas panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kronik Dewi Hujan (On Going)
FantasyContains of Comedy+Romance+Fantasy. Bagaimana jikalau kamu sang dewi hujan yang kerap kali menurunkan hujan untuk penduduk bumi mendadak ditugaskan menjadi seorang mahasiswi di salah satu kampus agar mengikuti serangkaian kegiatan empat puluh hari...