Part 9

6K 853 16
                                    

Gena termenung di depan lembar kuis yang ia hadapi. Beberapa soal terasa tak asing. Ia ingat belajar ini dari Radit dan Martha saat tutor.

Dengan yakin, Gena mulai menuliskan jawabannya. Sesekali ia terlihat berfikir dan termenung.

Kadang pulpen pun menjadi sasaran amuknya. Ia menggigit ujung pulpennya tanda berfikir keras. Jangan tanyakan bagaimana hasil ujung pulpen itu.

Mengenaskan.

100 menit telah berlalu, Gena mengumpulkan lembar jawabannya dan menandatangani presensinya. Setelah itu ia keluar dari ruang kelar.

Di luar ada Radit yang tengah bersantai duduk. Pria itu sudah selesai sejak, entahlah mungkin 30 menit yang lalu. Biasanya Radit akan langsung pulang. Pemandangan yang aneh melihat ia masih di kampus setelah jam selesai

"Eum, Gen, gue mau minta tolong," pinta Radit saat melihat Gena berdiri di depan pintu kelas.

Ia langsung berdiri dan menghampiri Gena. "Minggu depan udah masuk minggu ujian akhir. Mungkin, kalo lo mau, lo bisa belajar di tempat gue kayak kemarin," ujar Radit.

Mendengar tawaran Radit, Gena melongo tak percaya. Biasanya ia harus memohon untuk meminta Radit mengajarinya. Sepertinya Gena dan keberuntungan sedang bersahabat.

Radit datang dan menawari untuk mengajarnya dengan cuma-cuma. Tanpa ada permohonan dan alasan tidak mengecewakan orang tua.

"Serius?" tanya Gena.

Radit mengangguk mengiyakan. "Kebetulan gue lagi off juga kerja di klub selama minggu ujian. Jadi lo bisa belajar lebih lama, kalo lo mau," tambah Radit.

Tanpa berfikir lama, Gena langsung mengangguk mengiyakan. "Mau kok! Mau, Dit!" jawab Gena bersemangat.

"Sabtu pagi, jamnya kayak kemaren. Kalo lo mau ya." Radit berbalik dan berjalan menjauh meninggalkan Gena yang masih bingung bercampur senang.

Sampai saat berjalan menuju parkiran pun, Gena masih terus tersenyum layaknya orang bodoh.

"Oi! Gen!"

Ia menoleh mencari sebuah suara yang memanggilnya. Tak jauh dari Gena, ada Abe yang duduk di tangga belakang kampus bersama beberapa anak basket lainnya.

Tempat yang menjadi markas besar mereka berkumpul di waktu luang jam perkuliahan.

"Eh, ada apa?" tanya Gena.

Begitu Gena berjalan mendekat, seluruh teman Abe tampak bersorak. Bahkan beberapa menggoda Abe, mengira ia sedang melakukan pergerakan gencarnya.

"Berisik! Dia temen gue, jangan bercanda lo semua," hardik Abe pada teman-temannya.

Abe membawa Gena sedikit menjauh dari teman sepermainannya. Ia ingin melaporkan sesuatu.

"Kemarin sore, gue ga sengaja ketemu Radit di kuburan," lapor Abe.

Alis Gena bertaut. "Di kuburan? Tumbenan lo main di kuburan?" tanya Gena bingung.

Di hari kuliah dan Abe tiba-tiba menyasar di kuburan. Gena fikir orang seperti Abe akan selalu pergi ke GOR atau gym atau lapangan basket.

"Yah, gue ngunjungin seseorang." Jemari Abe menggaruk belakang tengkuknya yang tak gatal. "Terus?" tanya Gena.

"Awalnya gue mikir ga bakal ngasih tau lo. Toh ngunjungin seseorang di kuburan seems normal for everyone. Sampai akhirnya gue tau Radit nangis di kuburan itu."

Gena tertegun mendengar perkataan Abe. Radit menangis? Manusia dingin dan cuek itu bisa menangis?

Apa dia datengin bokapnya? Gena bertanya-tanya dalam hati.

Bittersweet by Radit [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang