Part 5

6.8K 959 13
                                    

"Argh! Capek banget," keluh Gena lagi.

Jam hampir menunjukkan pukul 4. Radit meninggalkannya sejenak untuk mandi dan bersiap. Katanya ia punya part time di jam 5 nanti.

Lalu saat meninggalkannya, Radit memberikan dua buah soal yang harus Gena selesaikan. Satu soal memang selesai.

Yang satu lagi jangankan diselesaikan, bahkan Gena tak mampu menggambar diagramnya. Sepertinya ia salah dari perhitungan awal.

"Gimana? Udah selesai?" tanya Radit pada Gena.

Mata Gena mengerjap beberapa kali. Di depannya ada Radit yang masih sibuk mengeringkan rambutnya yang basah. Ia juga masih memakai celana pendek dan kaos rumahnya.

"Eh.. Eum, belom. Gue kayaknya salah dari awal," ucap Gena merasa bersalah.

Udah gue duga. Gumam Radit dalam hati.

Ia menarik bangku di samping Gena dan mulai meneliti hasil pekerjaannya. Mencari di mana titik kesalahan Gena yang membuat ia tidak bisa menyelesaikan soal ini.

Berbanding dengan Radit yang fokus, Gena kehilangan seluruh fokus yang ia miliki. Wangi sabun dan shampo yang digunakan Radit tercium.

Seperti bau lemon bercampur susu. Sama persis seperti bau sabun anak bayi. Lalu shamponya memiliki wangi cooling fresh yang menyegarkan.

"Nah lo salah di sini......." Radit mulai menjelaskan kesalahan Gena.

Namun perkataan Radit tidak lebih dari masuk telinga kiri dan keluar di telinga kanan bagi Gena. Ia terlalu fokus pada wangi tubuh Radit setelah mandi.

"Gimana? Ngerti nggak?" tanya Radit di akhir penjelasannya.

Gena tersentak sadar seketika. Tidak, ia tidak mengerti sama sekali. "Maaf gue masih ga ngerti," jawab Gena dengan jujur.

"Di bagian mananya yang ga ngerti?" tanya Radit penasaran.

Bagian mana? Bagian mana? Semuanya! Gue bodoh terus ga merhatiin lagi! Kurang bodoh apa kayak gitu?! Pekik Gena panik.

"S-semuanya," cicit Gena kecil.

Ia takut memancing kemarahan seorang Radit karena kapasitas otaknya yang kecil serta fokus yang sering berlarian.

"Astaga."

Desahan kecil Radit membuat Gena semakin merasa bodoh. Radit harus ekstra sabar saat mentutor Gena. Karena prosesor otak Gena tidak berbeda jauh dengan komputer pentium.

"Ini udah mau sore juga, gue kebetulan ada kerja di tempat lain. Kalau emang masih ga ngerti gue cariin jam kosong gue lagi nanti. Mau?" tawar Radit.

"Apa ga ngerepotin?"

"Yah ngerepotin sih," jawab Radit dengan entengnya.

Wajah Gena berubah menjadi masam seketika. Seenggaknya pura-pura baik kek! Gerutu Gena jengkel sendiri.

"Kalo ngerepotin gausah, Dit. Nanti gue belajar sendiri aja, semoga bisa." Gena memberikan penekanan pada kata semoga bisa yang ia ucapkan.

Gena merapihkan barang bawaannya. "Lo mau keluar, kan? Sekalian gue tebengin aja yuk gue tunggu," ajak Gena.

"Ga usah, nanti ngerepotin. Gue naik busway aja," tolak Radit.

"Halah, gaya-gayaan nolak, udah gue anterin aja. Itung-itung kan gantian lo udah bantuin gue belajar."

Gena mengibaskan tangannya, tanda perkara mengantar Radit ini hanya masalah sepele dan tidak seharusnya Radit menolaknya. "Kalo dipaksa juga ga nolak sih."

Ucapan Radit membuat Gena tersenyum. Ia menunggu Radit berberes dan pamit kepada keluarganya. "Kerja di mana Dit?" tanya Gena saat mereka sudah di dalam mobil.

"Exodus," jawab Radit.

"A-apa? Lo kerja apa di sana? Jadi apa, jir?" pekik Gena terkejut saat tau tempat bekerja Radit.

Seingat Gena, Exodus merupakan club malam yang menyediakan striptease dan penari vulgar. Ia pernah sekali masuk karena menemani sepupunya untuk minum.

Dan saat itu Gena cukup tersendak karena apa yang ditawarkan club itu. "Cuma jadi pelayan," jawab Radit lagi.

Hembusan nafas Gena terdengar. Kepalanya sudah bercabang memikirkan jenis pekerjaan yang Radit miliki di sana. Bagaimana jika Radit ternyata seorang simpanan tante-tante gatal?

Atau Radit yang ternyata senang menunjukkan diri di tiang dengan tarian stripteasenya? Pria juga bisa melakukan itu. Tidak menutup kemungkinan Radit juga melakukannya.

"A-aw!" pekik Gena mengusap dahinya.

"Jangan mikir yang aneh-aneh! Ayo buru jalan! Nanti gue terlambat!" protes Radit tampak seperti tidak tau malu pada Gena.

"I-iya, iya!" gumam Gena sedikit jengkel.

Perjalanan mereka terasa hening. Berkali-kali Gena membangkitkan topik namun Radit hanya akan berdeham menanggapinya. Hingga akhirnya Gena lelah sendiri.

"Reilla, anaknya lucu ya," ungkap Gena yang tiba-tiba menyinggung adik Radit paling kecil. Yang memiliki kebutuhan khusus.

Alis Radit bertaut. "Ya, makasih."

"Gue ngerti kenapa lo banggain dia banget di instagram lo. Terlepas dari semua kebutuhan khususnya, dia pintar."

Gena beberapa kali menemukan kenalan ataupun kerabatnya yang memiliki kebutuhan khusus seperti Reilla, namun Reilla yang paling bisa diajak berkomunikasi ketimbang yang lain.

"Harusnya Reilla ga bertahan sekuat itu. Mama bilang, dokter vonis dia cuma kuat sampai 3 bulan dari kelahirannya," gumam Radit.

Bibir Gena terbuka seperti menganga tanda tak percaya. Dari tiga bulan, kini anak itu bertahan hingga 10 tahun. Sebuah keajaiban dan juga pasti kerja keras yang tak main-main.

"Wow, gue salut banget. Itu bukan sesuatu yang mudah." Ucapan Gena meluncur begitu saja.

Radit mengakuinya. Saat itu ia berumur sekitar 10 atau 11 tahun. Orang tuanya sibuk mengurus adiknya. Pengeluaran keluarga mereka sangat besar. Sampai mereka harus menjual mobil demi pengobatan Reilla.

Ia sangat ingat bagaimana hari-hari itu. Ibunya terlihat sangat lelah dan ayahnya yang harus bekerja keras. Untungnya Reilla juga tidak menyerah semudah itu.

Reilla, adik kebanggaan Radit. Dia bukti nyata yang harus Radit perjuangkan. Sesuatu yang sangat mendiang ayahnya jaga dan perjuangkan.

"Kenapa lo lebih milih kerja di luar, Dit? Maksud gue, di kampus juga banyak nawarin pekerjaan. Asisten praktikum, asisten laboratorium bahkan asisten dosen. Lo pasti bisa lah jadi salah satu dari itu," tanya Gena penasaran.

Sejauh ini, Radit memang tidak pernah mengambil pekerjaan yang tersedia di kampus meski nilai dan keterampilannya mendukung.

Padahal Gena yakin, Radit bisa dengan mudahnya menjadi asisten dosen ataupun asisten laboratorium jika ia mau.

"Bayarannya ga gede tapi kerjanya segunung. Males," jawab Radit.

Bener juga pemikirannya. Radit setau gue terima beasiswa full, terus ada beasiswa institusi lain juga. Terus dia kerja jadi tutor anak sekolahan sama pelayan di club. Apa dia butuh banget ya? Gena mulai bertanya-tanya dalam hati. Tentu saja Gena tidak akan menanyakannya langsung pada Radit.

"Makasih ya, maaf ngerepotin," ungkap Radit saat mobil Gena berhenti di depan bar tempat ia bekerja.

"Okay. Makasih juga udah luangin waktunya buat ngajarin gue. Duluan ya Dit," ucap Gena pada Radit yang sudah berada di luar mobilnya.

Radit mengangguk dan berbalik masuk ke dalam gedung club tempatnya bekerja. Meninggalkan Gena yang belum beranjak dari tempatnya.

Sesaat Gena merenung sebelum pergi. Hari ini ia banyak mengetahui informasi baru tentang Radit. Ayah Radit yang sudah tiada, bagaimana keluarga Radit dan juga Radit yang bekerja di sebuah club dewasa.

"Kok jadi makin tertarik sih gue. Lucu banget lo, Gen!" dumel Gena pada dirinya sendiri.

Bittersweet by Radit [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang