08. Restlessness

37 2 0
                                    

Clara memasuki apartemennya dengan tergesa, satu jam yang lalu dia memberitahukan password agar sahabatnya memiliki akses untuk masuk ke dalam. Clara tidak ada alasan untuk mencurigai sahabatnya, karena bagaimanapun dia sangat percaya kepada mereka, melebihi apapun.

Dia melihat sahabatnya duduk di atas karpet ruang tengah saat itu, tapi netra legamnya justru terfokuskan ke satu gadis yang berada di tengah-tengah mereka. Marva terlihat berantakan dari sebelumnya, sahabatnya itu bahkan sudah kehabisan air mata untuk sekedar menangisi nasibnya. Mata dan hidungnya merah bak terbakar, tatapan matanya sayu. Bibirnya pucat.

Clara mendekat, duduk di antara mereka, "kenapa?"

"Gue tengkar sama Nathan." jawab Marva dengan suaranya yang parau. Dia sendiri bingung mau berbicara apa lagi, kejadian beberapa saat lalu membuatnya terluka. Nathan berbeda, tidak seperti biasa. Cowok itu seakan menjauhinya.

Marva termenung, mengingat kejadian saat Nathan membentaknya, menyuruhnya pergi, semua tentang Nathan sudah berbeda. Seperti bukan Nathan nya lagi. Kekasihnya lebih memilih meninggalkannya di tengah sepinya taman belakang kampus, dan pergi bersama Selvi.

Marva kecewa, sangat. Dia ingin memutuskan hubungannya dengan Nathan saat itu, tetapi entah mengapa lidahnya kelu untuk mengatakan kata putus. Dan, bukan itu saja, Marva sangat menyayangi Nathan, sebesar apapun kesalahan laki-laki itu, dia tidak sampai hati untuk mengatakan kata perpisahan. Marva menyayanginya melebihi apapun. Sungguh.

Ingatan tentang Nathan terhenti kala sebuah tangan menyentuh hangat pundaknya, dia menoleh, ternyata Erika. Tatapan sahabatnya itu menghangat, Marva selalu tenang ketika ditatap seperti itu oleh Erika. Seolah beban yang dipikulnya terangkat, Erika selalu punya keistimewaan sendiri untuk orang lain.

"Marva, percaya sama gue, ini bukan masalah besar, kita akan mengatasinya bersama-sama. Semuanya akan baik-baik aja," Erika membelai lembut punggung sahabatnya. "Gue sama yang lain akan tetap di samping lo, okay?" Marva hanya bisa mengangguk.

Evelyn yang biasanya cerewet saat itu hanya diam, prihatin dengan kondisi sahabatnya. Andai saja Nathan ada di dekatnya, akan ia cabik wajahnya. Dan ia akan menjambak rambut Selvi, dasar, berani-beraninya mereka membuat hati Marva terluka. Evelyn tidak habis pikir. Lantas mengusir pikirannya jauh, ia berdiri bersemangat, "ya udah, jangan sedih terus, yuk makan-makan aja gimana?"

Semuanya mendongak.

"Kayak bukan Evelyn." serempak mereka.

Evelyn jelas mendengus tak percaya. Pikirnya, mengapa saat dirinya dalam mode normal, sahabat-sahabatnya tidak percaya. Tapi kalau sudah dalam mode gila, mereka akan protes dan tidak segan menjitak keningnya. "Begini salah, begitu salah," dia berjalan ke dapur, melihat makanan apa saja yang tersedia. Namun, nihil. Evelyn menghela napas panjang, lantas ditatapnya mereka satu-persatu, "ayo pesen online aja, laper nihhhh...."

Kaira yang pertama kali meraih ponselnya dan memesan makanan. Sesuai pesanan sahabat-sahabatnya, dia memesan McD dengan menu yang sama karena terlalu malas untuk memilih menu saat ini.

"Totalnya 312 ribu," Kaira meletakkan ponselnya dan menengadahkan tangannya. Setelah uang mereka terkumpul, baru saatnya menunggu sampai makanan datang.

Keadaan kembali hening, seakan-akan mereka memang menunggu makanan tiba. Energi mereka telah habis hari ini, jadwal kuliah yang padat ditambah persiapan festival pekan depan, dan yang paling menguras saat mereka berpikir keras apa yang terjadi dengan Nathan.

"Gue tiba-tiba kangen Inaya," Tasya berceletuk, mengundang atensi sahabatnya.

"Iya sama, keadaan dia gimana ya setelah memutuskan untuk nggak kuliah di Jakarta?" Kaira tiba-tiba merasa lesu.

Heartbeat 2 [ first snow ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang