18. Menaruh Harap

3 1 0
                                    

"Al, yang sabar ya? Gue yakin Lio cuma butuh waktu aja. Mungkin maksud dia ini tuh lagi istirahat aja, bukan putus beneran."

Sejak satu jam yang lalu, semua sahabat Alana menyambangi kediaman gadis itu setelah mendengar kabar bahwa Lio memutuskan hubungan begitu saja. Alana yang merasa lemas, tidak memiliki semangat untuk mengisi jam kuliah pada hari ini pun memutuskan untuk pulang ke rumah lebih awal. Untungnya Ayahnya belum pulang, jadi beliau tidak akan bertanya mengapa ia sampai bolos kuliah.

Kalimat yang baru saja keluar dari bibir Marva ia aminkan dalam hati, kendati sangat sulit mempercayainya. Dari tadi, ia sebagai tuan rumah tidak menyuguhkan apapun untuk sahabatnya. Ia hanya membisu dengan tatapan kosong. Alana tidak memiliki kekuatan untuk melakukan apapun saat ini. Alana merasa jiwanya melanglang buana hingga raganya tak banyak bergerak.

"Alana, jangan gini terus. Lo bisa sakit kalau kepikiran Lio. Dia nggak apa-apa kok, lo jangan khawatir. Temen-temennya juga pada nemenin dia waktu ke pengadilan. Lo jangan ngerasa bersalah."

Alana tahu itu. Tapi, di sini ia yang sedang tidak apa-apa. Bagaimana dengan dirinya? Apa yang selanjutnya terjadi tanpa adanya Lio? Alana tidak sanggup membayangkan betapa kesepiannya dirinya nanti.

"Iya, Al. Lo harus kuat. Kalian harus sama-sama mengerti untuk saat ini. Kalian perlu waktu untuk menenangkan hati dan pikiran."

"Ayo minum, Al." Clara yang datang dari dapur membawakan segelas air putih. Gadis itu berjongkok di hadapan Alana. "Alana?"

Alana merendahkan pandangannya, dan bertepatan dengan itu netranya bersirobok dengan sorot hangat yang dimiliki Clara. Alana tidak bisa begini, ia luluh lantak melihat sahabatnya memperhatikannya sampai seperti ini. Jadi yang ia lakukan selanjutnya adalah menangis lebih keras dari biasanya.

Kemudian semuanya diam. Hanya suara tangisan Alana yang memenuhi rumah sederhana itu.

"Gue mau Lio."

Setelah sekian lama terdiam, pada akhirnya Alana hanya mampu mengeluarkan tiga kata.

ˑ༄ؘ ۪۪۫۫ ▹◃ ۪۪۫۫ ༄ؘ ˑ

"Dia cuma mau elo, Yo."

Lio tidak menjawab, karena Kaira bisa tahu kalau jawabannya masih abu-abu untuk saat ini. Lio sudah menduga hal ini akan terjadi, tetapi dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk berhenti menyakiti Alana. Lio tidak ingin keegoisannya membuat hidup Alana berantakan.

Sudah cukup Alana terbebani dengan masalah keluarganya. Sudah cukup Alana terbebani oleh kegiatan kuliahnya. Dan Lio tidak ingin Alana terus-terusan terbebani dengan hubungan ini. Harusnya ia tahu, berpacaran memang membuang waktu menurut Alana. Jika tahu begitu, Lio akan lebih berhati-hati untuk memulai dan akhirnya pasti tidak akan seperti ini.

Di malam yang dingin, sunyi senyap, Kaira datang ditemani kekasihnya—Ridho. Datang ke rumah Lio hanya untuk menyampaikan untaian singkat. Pada saat itu, rumah Lio tampak gelap dari biasanya. Lampu yang menggantung mewah di teras tidak menyala, sedang hanya lampu taman berwarna kemuning yang menerangi pelataran rumah besar itu. Daun-daun kering berserakan, seakan pembantu di rumah ini tak pernah membersihkannya. Kaira pikir, rumah ini pantas disebut rumah hantu karena penggambarannya sudah horor bukan main.

"Lo mau masuk dulu, Kai, Dho?" Alih-alih membalas pernyataan yang dilontarkan Kaira tadi, Lio malah menyimpang. Juga sebenarnya karena dia sadar telah membiarkan tamunya berdiri di depan pintu. Itu sangat tidak sopan.

Karena hawa dingin yang sudah tak terkendali lagi, akhirnya Ridho mengiyakan walau sebenarnya ia ingin cepat-cepat pulang. Jika pulang dalam kondisi seperti ini, yang ada ia akan sakit nanti. Apalagi Kaira juga ikut dengannya.

Heartbeat 2 [ first snow ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang