11. Dia Kembali

24 2 0
                                    

Gelap mulai menyapa kala Marva keluar kampus. Festival hari ini berjalan lancar dan meriah. Ia tidak lupa saat berkumpul dengan teman-temannya mengobrol sembari menikmati lantunan lagu yang disuguhkan oleh band ternama. Namun, di akhir pasti ia merasakan lelah yang luar biasa mengingat saat persiapan acara, ia membantu teman-temannya mengangkat kardus-kardus. Marva merentangkan kedua tangannya, memutar pinggangnya sedikit hanya untuk meregangkan ototnya agar tidak kaku. Lalu ia menyeka sisa-sisa peluh di sekitar pelipisnya.

Teman-temannya sudah pulang, tersisa dirinya dan sebagian mahasiswa yang sedang menunggu kendaraan di bawah naungan halte. Jujur saja bahwa ia mengabaikan pesan kekasihnya. Ia ingin pulang sendiri malam ini, kendati takut membelah jalanan Jakarta saat malam hari. Sebenarnya bisa saja ia menumpang temannya, tetapi ia sungkan karena pasti sangat merepotkan.

Pikirannya dipenuhi dengan berbagai gambaran abstrak sampai tak menyadari mobil putih berhenti di depan halte tempat ia berdiri. Kaca mobil itu terbuka dan menampilkan wajah seorang laki-laki dengan kening berkerut.

Sesaat, Marva tersadarkan ketika sesuatu menghalangi pandangannya terhadap jalan raya. Ia menegang melihat Nathan keluar dari mobil itu, berlari kecil ke arahnya dengan helai poni yang berjatuhan di kening.

"Ayo aku antar." laki-laki itu sudah menyentuh pergelangan tangan Marva.

Tapi Marva geming, seolah menganggap Nathan hanyalah angin lalu. Otaknya menyuruhnya untuk diam, tapi di luar itu hatinya bertolak belakang. Tidak sejalan dengan pikirannya. Kehangatan yang disalurkan Nathan padanya, sangat ia rindukan. Satu minggu menghindari laki-laki itu bukanlah hal mudah untuknya. Marva harus menahan segala gejolak yang terjadi dalam dirinya. Tidak hanya Nathan, Marva pun tersiksa dengan keadaan ini.

"Marva ayo." Nathan berbalik, ia menatap kekasihnya dengan bingung. Melihat Marva menundukkan kepala, memaksanya untuk berpikir dalam. Apakah ia sudah keterlaluan menyakiti hati gadis ini? Ia bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Padahal, Nathan hanya berusaha menyelesaikan semuanya, ia ingin segalanya menjadi baik seperti sebelumnya.

"A-aku bisa pulang sendiri." Marva melepas tangan Nathan di pergelangan tangannya dengan lembut. Seakan tidak ingin laki-laki itu mengira bahwa ia menolaknya dengan mentah. "Aku bisa naik angkutan umum."

Barulah ia tersadar dari lamunannya, "nggak ada angkutan umum jam segini, Marva." Ia mengembuskan napas panjang.

"Ada, pasti ada." kukuh Marva, benar-benar belum siap berhadapan dengan Nathan karena hatinya belum sepenuhnya pulih.

"Mar—"

"Kamu bisa pergi tinggalin aku sendirian nggak sih?!" Marva mendongak, menatap sepasang mata milik Nathan dengan sendu. Pandangannya sedikit mengabur lantaran menahan air mata di pelupuknya.

Hati Nathan perih. Sedalam ini ia melukai gadis itu, hingga tatapannya begitu menyakitkan untuk ia lihat. Kebohongannya saat itu, benar-benar menghancurkan segalanya.

"Nggak bisa." jawab Nathan, wajahnya terlihat datar. Tanpa ekspresi. Marva tak tahu saja Nathan sedang menahan rasa sakit di dalam hatinya.

Tidak ada lagi cara untuk menolak, akhirnya Marva pasrah masuk ke dalam mobil Nathan. Di dalam keadaan sangat hening, seakan tidak ada yang minat mengisinya dengan setidaknya satu dua patah kata. Keduanya sama-sama bungkam. Menikmati suasana yang ada.

Marva mengarahkan pandangannya pada jendela kaca di sampingnya. Melihat pertokoan mulai tutup, mengingat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Acara berlangsung begitu meriah, hingga semua orang enggan mengakhirinya dengan cepat.

Heartbeat 2 [ first snow ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang