Alana tidak pernah tahu bahwa Lio selama ini kesepian. Yang Alana tahu, Lio akan merasa senang jika dirinya bisa meluangkan waktu walau hanya lima menit saja. Jika saja Lio berkata jujur kepadanya tentang keresahan yang selama ini dipendam, Alana akan berusaha menjadi yang sebaik mungkin agar tidak mengecewakan.
Selama berpacaran, Lio lah yang selalu menemani Alana. Tidak peduli saat laki-laki itu sakit, dia akan tetap mengisi kekosongan Alana. Lio adalah orang pertama yang akan membantu Alana. Lio adalah orang yang memahami Alana lebih dari orang tuanya sendiri.
Jika dipikir kembali, Lio memang tidak pernah menuntut banyak hal. Lio hanya ingin diperhatikan sedikit saja. Dikabari sebentar saja. Ditemui walau tak sampai sepuluh menit ia tak apa, asal wajah Alana sudah terekam hari itu dalam kepalanya.
Namun, bukannya berlaku demikian, Alana malah membuat Lio kecewa. Bertahun-tahun menjalin hubungan dengan lelaki itu, mengapa baru sekarang Alana sadar. Bahwa dirinya telah membuat hati Lio terluka.
Meski matahari sudah berada di tengah-tengah, dia masih tidak dapat menemukan kepastian atas apa yang dikatakan pacarnya kemarin. Dia tahu Lio mabuk sampai meracau tidak jelas. Tetapi tetap saja dia takut ajakan Lio untuk mengakhiri hubungan benar adanya.
"Mau gue antar ke fakultasnya Lio?" Di samping, Clara berdiri dengan senyum paling manis yang dia punya. Satu genggaman yang merengkuh tangan Alana terasa hangat.
"Gue takut," lirih Alana. Ia menunduk. Menatap sepasang sepatu yang merupakan hadiah ulang tahun dari Lio tahun lalu. Hari ini dia sengaja memakainya. Kata Lio sepatu ini memberi keberuntungan. Karena saat membelinya, bersamaan dengan kabar orang tua Lio yang memenangkan tender di Korea Selatan pada waktu lalu. Dan Alana berharap juga sepatu yang ia kenakan sekarang dapat memberi keberuntungan untuknya.
Semoga saja.
"Gue yakin lo lebih takut kehilangan."
Clara benar. Jika Alana tetap diam dan tidak mau segera menyelesaikan masalah hanya karena dia takut, Lio mungkin mengira dia sudah tidak memperjuangkan kembali hubungan mereka.
Maka dengan pertimbangan yang baik lalu menghembuskan napas untuk yang kesekian kali, Alana mengangguk yakin dia dapat melewati ini semua. Tidak peduli bagaimana hasil akhir, yang panting ia sudah berusaha.
"Lo bisa Alana," kata gadis itu dalam hati.
ˑ༄ؘ ۪۪۫۫ ▹◃ ۪۪۫۫ ༄ؘ ˑ
Sore itu di bawah pohon Trembesi halaman belakang kampus, Alana terduduk dengan pandangan lurus ke depan. Di sampingnya Lio juga duduk terdiam. Seakan di antara mereka berdua tak ada yang ingin mengucap sesuatu.
"Hanya karena aku sibuk belajar, kamu jadi gini, Yo?" Dari banyaknya pertanyaan yang sudah Alana susun dalam kepala, dia memilih pertanyaan yang malah membuat Lio menatapnya dengan pandangan tidak percaya.
"Hanya kata kamu?" Lio pikir Alana akan mengakui kesalahannya dan meminta agar hubungan mereka berjalan sebagaimana mestinya. Tetapi harapan itu menguap ketika pacarnya sendiri malah menyepelekan masalah. "Kamu nggak sekali dua kali, loh, Al. Aku tau kamu sibuk, tapi bisa nggak sih seenggaknya kabarin aku meski sesingkat apapun itu."
"Aku sibuk juga bukan karena aku mau, Yo." Alana masih berkilah. "Aku nggak mau nyia-nyain waktu aku untuk hal yang nggak terlalu penting. Yo, kamu tau sendiri, 'kan, aku pengin banget cepet-cepet nyelesaiin skripsi biar nggak ngulang terus? Aku pengin cepat punya pekerjaan biar nggak repotin Ayah aku."
Lio tahu, tapi cara Alana dalam menyampaikannya kurang tepat dan itu menyakiti hatinya. Ia berusaha mengurai kegelisahannya. Berusaha agar terlihat tegar, walau sebenarnya ia sedang berada di pilihan yang berat.
"Kamu nggak mau buang-buang waktu untuk hal yang nggak penting, 'kan, Al?" tanya Lio dan Alana meresponnya dengan satu anggukan tanpa beban. Lio menarik napas dan mengembuskannya perlahan-lahan. Tak peduli seberapa sering ia berjuang untuk mempertahankan, Alananya tetap memberinya rasa sesak. Pada akhirnya Lio merasakan himpitan dadanya kian terasa. "Kalau begitu artinya hubungan ini nggak penting buat kamu?"
"Bukan gi—"
"Itu maksud kamu, Al. Aku tau kamu jenuh. Aku tau kamu bosan. Makanya kamu selalu menjadikan aku sebagai alasan kalau kamu lagi-lagi kehilangan waktu berharga kamu."
Alana menunduk. Perkataan Lio tidak sepenuhnya salah. Malah delapan puluh persen benar. Ia memang sedang berada di fase jenuh dengan hubungannya. Seperti semuanya berjalan datar, entah dikarenakan apa. Apakah mungkin karena dirinya yang terlalu fokus pada satu hal sampai melupakan bahwa ada yang menunggu kabar darinya? Jika benar begitu, maka ia memang perempuan yang egois. Alana tidak pernah menjalankan semuanya dengan seimbang. Hingga ia harus menjadikan salah satunya sebagai alasannya lelah.
Namun, demi apapun, sejenuh-jenuhnya dia dengan hubungan ini, dia tidak pernah berpikir untuk mengakhirinya. Alana mencintai Lio, mungkin sebaliknya begitu. Alana hanya ingin Lio mengerti kondisinya untuk saat ini. Setelah semua selesai Alana berjanji untuk memperbaiki segala kesalahannya.
"Pacaran sama orang pinter gini banget ya ujiannya?" Lio tersenyum kecut. "Aku nggak minta satu jam dari kamu kok, Al. Lima menit aja aku udah bersyukur. Tapi kayaknya itu terlalu berharga buat kamu." Lio berdiri, menundukkan kepalanya hanya untuk melihat gadis yang ia sayangi sedang berdiam diri di sana. "Kita selesai, Alana."
Kalimat itu meluncur cepat tanpa pertimbangan di telinga Alana. Ia mendongak, menatap Lio untuk berusaha mencari kebohongan di sana. Alih-alih kebohongan, ia malah melihat kekosongan yang melingkupi netra lelaki itu. Secepat dan selancar itu Lio mengatakannya, membuat hati Alana tersayat-sayat. Hubungan yang sudah berjalan bertahun-tahun, diputuskan begitu saja oleh satu pihak.
Lio sangat mencintai gadis itu. Tapi, jika Alana tidak nyaman dengan hubungan ini, untuk apa ia lanjutkan? Itu hanya akan menyakiti kedua pihak. Dan mungkin Alana akan lebih tersakiti, sebab ia menuntut waktu walau sekadar lima menit dari gadis itu. Maka dengan hati yang lebam karena harapannya sendiri, Lio beranjak.
Menjauh. Meninggalkan Alana terisak sendirian.
ˑ༄ؘ ۪۪۫۫ ▹◃ ۪۪۫۫ ༄ؘ ˑ
Dua jam berlalu, tetapi gadis itu masih setia di tempatnya. Menatap kosong rerumputan di hadapannya. Bunga-bunga layu yang berguguran, seakan berlomba-lomba untuk menertawakan bagaimana menyedihkannya seorang Alana Elvarette Jeane. Baru pertama kali dia menangis untuk waktu yang lama, hingga rasanya ada yang mengganjal saat matanya agak membengkak. Bibirnya gemetaran, karena semenjak kepergian kekasihnya—ah ralat, mantan kekasihnya, Alana tak henti-hentinya menyebut nama Lio.
Dia kira ketika ia meninggalkan Lio di gedung fakultas teknik adalah inti permasalahan yang Lio resahkan. Ternyata ia salah, ada kesalahan yang tidak ia sadar dan itu membuat Lio terluka. Setelah kepergian Lio, Alana mendapat pesan dari Erika. Orang tua Lio telah menjalankan persidangan perceraian. Betapa bodohnya Alana karena memiliki tingkat kepekaan yang minim hingga tidak memperdulikan Lio yang butuh teman untuk bercerita. Bahu untuk bersandar. Pelukan untuk menangis. Semuanya Alana lewatkan tanpa rasa bersalah dan berujung penyesalan serta rasa sakit yang menyesakkan.
Tidak terbayang betapa kesepiannya laki-laki itu tanpa dirinya di sisinya. Alana sibuk mengejar nilai, sedang Lio bersusah payah mengembalikan keutuhan hidupnya kembali.
Lio selalu ada saat Alana butuh, namun sebaliknya Alana tidak pernah ada saat Lio sangat membutuhkan kehadirannya.
Alana pantas menerima hukuman ini. Tapi, ia tidak sanggup tanpa Lio.
To be continue...
Sebelum memasuki konflik yang sebenarnya, aku mau mengajak pembaca cerita ini untuk menyaksikan permasalahan yang dihadapi masing-masing tokoh. Semoga aku bisa menunjukkan semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat 2 [ first snow ]
Romance[ Sequel Heartbeat ] "about the story that had stopped. an unexpected encounter, brings the story back on track" -Hearbeat 2