13. Rumitnya Hati

22 1 0
                                    

Selasar gedung fakultas kedokteran yang berdampingan dengan gedung perusahaan yang menjulang tinggi, terdengar kasak-kusuk suara para mahasiswa yang kala itu telah memenuhi ruang koridor. Ketukan sneakers menapaki lantai keramik putih beradu dengan tapakan kaki lain. Pagi ini adalah pagi yang cerah. Sinar yang tak begitu menyengat melewati sela-sela dedaunan di sekitar, menambah kehangatan yang kentara.

Beberapa jam yang lalu saat ia mendapat kabar dari grup chat kelasnya, Clara datang ke kampus satu jam sebelum dosen pengampu memasuki ruang kelas dan memulai materi mata kuliah yang akan dibahas. Hendaknya satu jam ke depan akan ia gunakan untuk sarapan di kantin utama; sebab kantin fakultasnya belum buka saat ini. Bukan maksudnya sekadar sarapan akan memakan waktu selama itu, namun sisanya akan ia manfaatkan untuk mengulang kembali materi minggu lalu.

Dress biru laut setinggi bawah lutut bermotif bunga mengayun ke kanan dan kiri seiring langkah yang ia ambil. Pun dengan tas selempang yang tersampir di bahu gadis bersurai legam.

Langkah demi langkah ia ambil seraya membalas sapaan hangat dari beberapa mahasiswa yang memang mengenalnya. Sembari terus berjalan, pikirannya seolah terhenti pada satu waktu. Ketika ia berjalan beriringan dengan Shakira sepulang dari kampus; menyempatkan diri menyusuri trotoar di jalan area universitas. Mereka berdua tidak membicarakan banyak hal karena kebanyakan hening yang merengkuh keadaan. Hanya beberapa obrolan random seperti Shakira yang ingin tahu awal pertemuannya dengan Devon. Clara tidak pernah mempermasalahkan itu, sebab manusia selalu dilingkupi rasa ingin tahu.

Lalu setelah sepersekian detik keduanya terdiam, entah terbesit dari mana sampai Clara menggenggam tangan dingin Shakira dan mengucapkan sesuatu yang tentunya keluar dari topik mereka sebelumnya. Clara sadar perubahan ekspresi Shakira yang ternyata dibawa gadis itu hingga kemarin. Terbukti kala gadis itu tampak menghindari kontak mata dengannya atau menjaga jarak dalam radius yang cukup jauh.

Dan bagi Clara sendiri, ia tidak tahu dapat dorongan dari mana sampai ia mengatakan hal tak terduga—mungkin menurut Shakira. Tetapi setidaknya ia lega karena mau bagaimana pun, ia peka terhadap apa yang Shakira risaukan.

Sepasang kakinya sudah berdiri di atas keramik yang mendasari kantin utama. Kantin utama kampus ini memang lebih luas ketimbang kantin fakultas lainnya. Sepagi ini sudah banyak mahasiswa yang melipir; untuk sarapan atau sekadar berbincang ringan dengan temannya. Kaki Clara membawanya menuju stand ketiga dari sisi kiri. Teringat ia belum mengisi perutnya apapun tadi di apartemen, Clara berniat sarapan dengan makanan ringan.

"Bu, seperti biasa, ya." Sang ibu penjual segera berkutat dengan pesanan Clara. Gadis itu memang sering mengunjungi stand ini ketika ia ingin sarapan, dan tidak heran jika wanita paruh baya itu hapal dengan pesanannya.

Jika orang-orang akan menunggu di meja sampai pesanan mereka diantar; seperti di restoran atau di kafe-kafe. Clara lebih memilih menunggu di depan kedainya langsung, karena ia tahu sang penjual juga melayani orang lain.

Roti berisi beberapa macam sayuran dan irisan daging dilumuri saus tomat sudah terhidang di meja setelah ia membawa sarapannya ke meja paling ujung; dekat dengan jendela kaca yang cukup besar, hingga Clara dapat memotret lingkungan parkiran yang tak kalah luasnya. Memilih duduk di sini bukanlah pilihan buruk, karena niat awalnya memang ingin menjauhi keramaian. Bukan sombong melainkan saat ia mengulang materi, fokusnya tidak akan terganggu dengan suara mereka.

Sebelum menyantap sarapannya, tangan Clara menggeser meraih segelas es kopi untuk ia seruput demi melancarkan kerongkongannya saat menelan roti. Sebenarnya Rafli sudah berkali-kali mengingatkan jangan minum kopi saat masih pagi hari, karena perutnya akan terasa panas dan asam lambungnya bisa kambuh. Kendati demikian, Clara agaknya tidak memperhatikan itu mengingat semalam ia sulit tertidur sehingga meminum larutan mengandung kafein adalah satu-satunya pilihan agar ia dapat terjaga; di kelas dan dimana pun.

Heartbeat 2 [ first snow ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang