Jika hidup hanya sebagai ajang pembuktian, mana yang patut diakui atau tidak, maka Shakira tidak akan pernah berharap dirinya dilahirkan. Orang mengira bahwa ia adalah manusia sempurna. Kecantikan, kecerdasan, kekayaan ia miliki, tapi apakah mereka tahu, jika Shakira tidak pernah mendapatkan kasih sayang sebagai seorang anak.
Merasa atmosfer di rumah sangat mencekam, Shakira memutuskan untuk pergi secara diam-diam dengan melompat dari jendela. Ia tahu ini dapat berakibat fatal karena ia turun dari balkon kamarnya menggunakan kain panjang hingga menjuntai ke dasar. Tidak ada cara lain selain melakukan tindakan yang bisa membahayakan nyawanya sendiri. Tapi, nyatanya Shakira berhasil melewati gerbang besar tersebut.
Kali ini Shakira tidak menggunakan transportasi yang difasilitasi oleh Ayahnya. Karena ia yakin pria itu akan mengetahuinya nanti. Dengan modal jalan kaki, ia sudah sampai di jalan raya. Langit sudah menggelap sejak tadi. Aktivitas di jalan raya pun tidak berhenti kala deru mesin kendaraan masih terdengar. Menghela napas, Shakira mengeratkan jaket yang membalut tubuhnya. Berbekal dompet dan ponsel, Shakira mendekati gerai makanan yang masih buka dan ramai di pinggir jalan.
Malam ini Shakira ingin merasakan kebebasan barang sebentar saja. Ayahnya melarang untuk memakan makanan yang dijual di pinggir jalan. Ia tidak boleh mencoba hal-hal sederhana, harus mengikuti alur yang sudah Ayahnya buat. Kadang hal itulah yang membuat orang-orang di sekitarnya mengira bahwa ia anak sombong yang membatasi pergaulan serta berbeda menjalani hidup.
"Nasi goreng sama teh manis hangat ya, Bu," ucap Shakira begitu sampai di depan gerobak penjual. Setelah mendapat anggukan dari wanita paruh baya, Shakira duduk di meja paling ujung. Hendak menghindari keramaian pembeli.
Selagi menunggu pesanannya datang, Shakira mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi melukis di sana. Melukis apapun yang ada di imajinasinya. Saat jemari itu bergerak lincah di atas layar ponsel dan membentuk guratan indah, suara seseorang tiba-tiba menginterupsi.
"Maaf, saya boleh duduk di sini?" tanya orang itu dengan suara pelan, merasa sungkan, "nggak ada tempat lain soalnya. Penuh." imbuhnya, seolah paham akan ekspresi terkejut Shakira.
Shakira mengangguk ragu, "iya boleh, kok. Silakan."
Ia tidak menyangka akan duduk berhadapan dengan lelaki asing seperti ini. Niatnya ingin mencari ketenangan malah kegugupan yang melanda. Duh, memang ya, realita itu jauh dari ekspetasi kita. Lelaki berkemeja putih itu tengah menatap layar ponsel, seperti berbalas pesan dengan seseorang. Penampilannya yang rapi membuat Shakira menebak bahwa lelaki itu baru pulang kerja, mungkin.
Pesanan Shakira datang lebih dulu, selang lima menit pesanan milik lelaki itu tiba. Mereka makan dalam keheningan, hanya suara denting peralatan makan yang terdengar. Mau apa lagi? Mereka, kan orang asing. Tentu tidak akan ada obrolan.
Saat Shakira menegak teh hangat hingga tersisa separo, denting notifikasi di ponselnya mengecai konsentrasi lelaki di depannya. Otomatis atensinya pun ikut tertarik.
"Kamu ..." suara lelaki itu menggantung, membuat Shakira menoleh dengan alis bertaut.
Menyadari arah pandang lelaki itu, Shakira paham. "Ah iya, aku mahasiswi di sana."
"Oh, adik saya juga kuliah di sana."
Shakira menyipit, "jurusan apa?"
"Kedokteran."
Gadis itu manggut-manggut saja. Mau menanyakan nama, tapi urung. Untuk apa juga, ia tidak punya teman di jurusan tersebut. Meski hanya satu nama yang ia kenal di sana.
Akhirnya pertemuan tidak disengaja itu berakhir. Shakira melenggang pergi setelah membayar makanannya. Meninggalkan lelaki itu dalam perasaan kecamuk dengan hanya sekali melihat wajahnya. Entah, ini aneh. Ia tidak mengerti. Mengesampingkan itu semua, Shakira berjalan menikmati embusan angin malam itu. Langkah kakinya membawanya menuju jembatan kecil yang tersembunyi di balik gang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat 2 [ first snow ]
Roman d'amour[ Sequel Heartbeat ] "about the story that had stopped. an unexpected encounter, brings the story back on track" -Hearbeat 2