1. Pertengkaran Yang Berakhir Meninggalkan

237 30 19
                                    

Hari sudah siang bahkan akan memasuki sore. Haru baru saja menginjakkan kaki di rumah bertingkat 3 bertema monokrom dan terkesan mewah yang telah sejak lahir ia tinggali bersama kedua orang tuanya. Setelah 8 jam lebih berkutat dengan beberapa pelajaran di sekolah yang pastinya menguras pikiran juga tenaga. Senyumnya terbit begitu saja kala melihat dua mobil yang sudah cukup lama tidak terparkir di sana.

Dengan langkah lebar dia menuju pintu utama lalu menerobos masuk begitu saja menuju ruang keluarga. Berharap akan ada dua orang yang telah ia rindukan itu menunggunya di sana. Akan tetapi, realita memang tak selalu semanis ekspektasi. Di sana tidak ada siapapun. Raut bahagianya pun langsung berubah sendu. Dengan langkah lambat dia meninggalkan tempat itu dan menuju kamarnya yang terletak di lantai dua.

Saat melewati kamar kedua orang tuanya yang terletak tepat di sampaing kamarnya, Haru samar-samar mendengar suara orang tengah berbicara. Senyum yang awalnya telah luntur kini mulai mengembang kembali.

“Ternyata bunda sama ayah emang beneran pulang,” gumam Haru lalu kembali melangkahkan kakinya menuju kamarnya dengan sedikit tergesa dengan senyuman yang kembali mengembang.

Sesampainya di kamarnya remaja berusia 15 tahun itu bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia tidak sabar untuk menemui kedua orang tuanya dan menghabiskan waktu bersama mereka.

Lima belas menit ia butuhkan hanya sekedar untuk membersihkan diri. Kini dia sudah siap dengan setelan celana bahan selutut berwarna abu-abu dengan kaos lengan pendek berwarna putih bergambar doraemon. Masih dengan senyum menghiasi wajahnya diapun keluar dari kamarnya. Namun, suara pertengkaran langsung menyambut indra pendengarannya. Dengan langkah tergesa diapun membawa langkahnya menuju sumber suara yang ternyata berada di ruang tamu. Di sana dapat ia lihat kedua orang tuanya yang tengah saling meneriaki.

“Kamu nggak bisa gitu sama aku mas, aku juga punya kehidupan aku sendiri.”

“Aku tahu! Aku cuman pengen kamu lebih sering ada di rumah temenin Haru. CUKUP AKU AJA YANG KERJA,” ucap Azriel—sang kepala keluarga dengan nada bicara yang meninggi diakhir ucapannya.

“Kenapa baru sekarang kamu permasalahin tentang pekerjaan aku?” tanya Giska—sang istri yang tak terima dengan apa yang diucapkan oleh suaminya barusan.

“Aku memang nggak pernah permasalahin pekerjaan kamu. Cuman aku ngerasa kamu berubah setahun ini,”

“BERUBAH GIMANA HA?” tanya giska dengan nada yang sudah meninggi tanda bahwa dia tengah emosi.

“Setahun ini kamu jarang ada di rumah dan lebih pentingin kerjaan kamu. Bahkan kamu seperti lupain Haru,” jelas Azriel.

“ATAS DASAR APA KAMU TUDUH AKU KAYAK GITU?” tanya Giska lagi menuntut penjelasan. Dia tak terima dituduh seperti itu.

“Haru sering nanyain kamu ke aku dan mohon ke aku buat ajak kamu pulang. Dia juga bilang dia kangen sama kamu. KANGEN. APA ITU BELUM CUKUP?”

“Kamu tahu apa? Kamu sendiri aja juga jarang pulang,”

“Meskipun aku jarang pulang seenggaknya aku masih sempatin waktu buat pulang. Kalo kamu apa? Boro-boro inget pulang, ngabarin aja nggak pernah,” jelas Azriel yang diakhiri dengan sindiran.

“Kamu nyindir aku,” jawab Giska sinis.

“Iya kenapa? Kamu nggak terima, tapi emang itukan kenyataannya,”

“Kamu tahu apa sih mas? Yang kamu tau itu cuma HARU, HARU, HARU AJA TERUS. KAPAN KAMU MAU NGERTIIN AKU MAS?” protes Giska dengan nada yang meninggi di akhir ucapannya.

Plakkk
Telapak tangan Azriel mendarat dengan mulus di pipi sebelah kanan sang istri. Sampai membuat Giska tertoleh dan meninggalkan bekas merah di sana.

“Kamu tampar aku mas?” tanya Giska dengan ekspresi menyiratkan kekecewaan juga air mata yang sudah menumpuk di pelupuk matanya siap terjatuh.

“Iya, karena kamu udah keterlaluan. Haru itu anak kamu juga,”

“DIA UDAH BESAR MAS HARUSNYA UDAH BISA URUS DIRINYA SENDIRI DONG,”

“Aku nggak tahu apa yang udah buat kamu berubah kayak gini, satu yang pasti aku kecewa sama kamu.”

Setelah mengucapkan itu Azriel keluar dari rumah itu dengan wajah menyiratkan amarah serta kekecewaan. Meninggalkan Giska yang kini sudah menangis sesenggukan dengan posisi terduduk. Namun, tak lama dia bangkit dan ikut meninggalkan rumah itu dengan air mata yang masih terus mengalir dari kedua kelopak matanya. Tanpa tahu bahwa semua kejadian tadi disaksikan secara langsung oleh sang putra dan meninggalkan luka tak kasat mata di sana.

“Lagi-lagi mereka bertengkar gara-gara gue,” ucap anak itu lirih dengan nada penuh kekecewaan serta mata yang sudah berair. Tatapannnya terus mengarah kepada kedua orang tuanya yang meninggalkan rumah tersebut tanpa menyadari keberadaannya bahkan menemuinya pun tidak.

“Gue emang nggak guna,” ucapnya kepada dirinya sendiri sambil memukul dada kanannya yang terasa begitu sesak.

“Hiks gue hiks emang hiks nggak guna.” Pecah sudah tangisannya. Tubuhnya meluruh dengan posisi terduduk dan wajah yang ditenggelamkan di kedua lututnya disertai tangisan yang kian terdengar memilukan. Hari yang dia kira akan menjadi hari paling membahagiakan selama setahun ini, siapa sangka malah menjadi hari yang paling menyakitkan.


Jember, 17 Mei 2021

Selamat membaca.
Semoga suka sama tulisan amburadulku ini wkwkwk.
Maklum masih newbie.
Silahkan dikritik dan dikrisar.
Terima kasih.
Oiya awas typo bertebaran.

SelezioneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang