3. Dikejar Wartawan

147 21 9
                                    

Matahari baru saja muncul menggantikan tugas bulan untuk menyinari bumi. Saat beberapa orang masih sibuk dengan alam mimpinya, Haru sudah siap dengan seragam sekolahnya. Padahal waktu masih menunjukkan pukul setengah enam pagi.

Hari ini dia memang berniat berangkat lebih awal. Selain agar tidak terlambat upacara dikarenakan ini hari senin, dia juga berharap dengan begini pikirannya sedikit teralihkan.

Remaja yang kini tengah berdiri di depan cermin yang menampilkan seluruh bagian tubuhnya. Memerhatikan kembali penampilannya bahkan sesekali merapikan rambutnya yang masih terlihat berantakan. Akan tetapi,  tiba-tiba dia menghentikan aktifitasnya begitu ingatan tentang kejadian semalam kembali menghampirinya.

Ingatan di mana dia merasa bahwa semalam ayahnya datang bahkan tidur bersamanya. Dia tidak yakin jika itu benar adanya. Buktinya begitu dia bangun tadi tidak ada presensi ayahnya terlihat di sana.
"Cuman mimpi gue aja kali," gumamnya mengenyahkan pikiran yang belum tentu benar adanya itu.

Dirasa telah siap semua, Haru mengambil tasnya lalu menyampirkannya di kedua bahunya. Dia menuruni tangga dengan tergesa dan langsung berangkat sendiri tanpa diantar supir juga melupakan acara sarapan paginya. Padahal Bi Iren yang memergokinya telah meneriakinya agar sarapan terlebih dahulu.

Sekolah masih sepi saat Haru menginjakkan kakinya di sana. Hanya ada beberapa anak kelas X yang kini tengah duduk-duduk santai di depan kelas sambil mengobrol. Tak memperdulikan hal tersebut dia pun berjalan menuju kelasnya di lantai dua.

Belum sempat memasuki kelas tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahunya. Tubuhnya menegang, dia terkejut sekaligus takut. Takut semisal itu hantu penunggu sekolah ini atau parahnya malah orang jahat yang ingin menculiknya. Akan tetapi, semua pemikiran itu sirna begitu sosok itu membuka suara.
"Tumben loe dateng sepagi ini?"
"'Emang nggak boleh apa?" Bukannya menjawab, Haru malah balik bertanya dengan nada sewot pula.
"Ye sewot,"
"Siapa suruh ngagetin gue,"
"Ya mangap bro,"
"Maaf kali,"
"Lah tadi emang gue bilang gimana?"
"Mangap ogeb," ucap Haru sambil menjitak kepala remaja itu.
"Sakit sat," protes remaja itu sambil mengelus bagian kepalanya yang baru saja terkena jitakan sayang dari Haru.
"Nama gue Haru bukan Satria," ucap Haru absurd.
"Lah yang bilang nama loe Satria siapa?"
"Tadi, loe bilang Sat." Senyumnya terbit begitu tak ada jawaban dari sang lawan bicara juga ekspresi lucu remaja tadi yang tengah berpikir tentang ucapannya barusan.

Setelahnya Haru memilih kembali melanjutkan langkahnya memasuki kelas yang sempat tertunda karena ulah orang absurd yang sayangnya adalah satu-satunya sahabat yang ia punya. Jangan lupakan juga dengan senyumnya yang masih terus menghiasi wajahnya.

"Itu bangsat. WOY," ucap remaja itu begitu berhasil memecahkan ucapan Haru tadi. Dilanjut meneriaki Haru yang dengan tega meninggalkannya.

"TUNGGUIN GUE, BANGKE!!" teriaknya lalu berlari mengejar Haru yang sudah memasuki kelas. Sedangkan Haru semakin melebarkan senyumnya saat melihat Daiva–remaja tadi atau yang biasa dipanggil Dava itu tengah berlari ke arahnya dengan ekspresi kesal.

"Tega banget loe tinggalin gue," protes anak itu begitu sampai dihadapan Haru dengan napas yang memburu. Jangan lupakan kakinya yang dihentak-hentakkan juga ekspresi kesalnya yang malah terlihat lucu.

"Hahahhahahhahah," pecah sudah tawa yang berusaha Haru tahan sejak tadi. Bagaiman tidak, melihat ekspresi Dava dengan bibir yang dimaju-majukan, kaki yang dihentak-hentakkan juga wajah kusut benar-benar membuat Haru terbahak. Sahabatnya itu memang benar-benar bisa membuatnya melupakan sejenak masalahnya sekaligus mengembalikan mood-nya. Itulah alasannya mengapa ia tetap memilih bersekolah meski perasaannya sedang tak karuan juga hatinya yang hancur. Karena akan selalu ada Dava yang membuatnya kembali tertawa.

SelezioneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang