5. Perebutan Hak Asuh

132 20 8
                                    

Siang menjelang sore ini, Haru masih berada di sekolah menunggu jemputannya. Namun, sampai satu jam berlalu sopir pribadinya tidak kunjung datang. Gerutuan terus keluar dari bibirnya apalagi saat sang sopir memberinya kabar bahwa dia terjebak macet dan sepertinya masih lama datangnya. Dia sudah capek. Seharian sekolah dan sekarang pun masih di sekolah saat semua temannya sudah pada tidur siang. Mungkin.

Sebuah motor sport berhenti tepat di depan Haru. Perasaan takut serta heran kini memenuhinya. Akan tetapi, semua sirna begitu sang pengendara membuka helm fullface-nya dan tampaklah wajah remaja 19 tahun yang sudah satu minggu tidak bertemu.
"Kok belum pulang?" tanya remaja tadi begitu turun dari motornya.
"Belum di jemput. Bang Reval sendiri ngapain di sini?" Tanyanya heran.

Ya sosok itu adalah Reval yang satu minggu lalu menganggapnya sebagai pengemis saat dikejar wartawan. Juga sosok yang sudah menolongnya saat dia pingsan dan memberinya tumpangan tinggal di apartemennya. Bahkan dia juga rela menjaga Haru yang saat itu tengah sakit karena kelelahan.

"Tadi abang nggak sengaja lewat trus liat kamu sendirian di sini," jelasnya lembut. Tak ada lagi kata-kata menyebalkan juga saling ejek yang keluar dari mulut mereka. Sangat berbeda dengan pertemuan pertama mereka. Entahlah apa yang terjadi? Karena mereka sendiri juga tidak tahu pastinya seperti apa.

"Terus?"
"Yaudah gitu aja,"
"Kirain mau nawarin tumpangan gitu," gumam Haru yang masih didengar oleh Reval. Senyuman terbit dari bibir Reval tanpa Haru ketahui.
"Emang mau kalo dianterin abang?" Haru yang sebelumnya menunduk pun langsung kembali mendongak. Senyumnya merekah, wajah kesalnya berubah penuh binar.
"Beneran bang?" Tanyanya memastikan.
"Yaudah kalo nggak mau." Reval pun kembali menaiki motornya dan memasang helm fullface-nya seperti akan bersiap pergi.
"Siapa bilang nggak mau," ucap Haru tiba-tiba sambil ikut menaiki motor Reval. Reval yang tidak siap pun sempat oleng, untunglah dia kembali bisa menguasainya. Senyuman kembali merekah dari bibir Reval dan kali ini lebih lebar.

Selama perjalanan mereka habiskan dengan bercerita. Bukan mereka sih lebih tepatnya Haru. Entahlah dia merasa nyaman saat bercerita dengan Reval. Dia juga merasa aman setiap kali berada di samping remaja itu. Katanya berasa punya abang. Maklum dia sebenarnya ingin punya kakak, tapi kenyataan menamparnya lantaran dia terlahir sebagai anak tunggal. Semisal dia punya saudara pun dia akan menjadi kakak. Sampai tak terasa motor yang Reval kendarai berhenti tepat di rumah bertingkat tiga dengan gerbang menjulang tinggi.

"Makasih ya bang," ucapnya setelah turun dari boncengan Reval. Reval pun hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Udah sana masuk!" Suruhnya kepada Haru.
"Abang nggak mau masuk dulu gitukah?"
"Nggak usah deh abang langsung aja. Yaudah sana masuk!"
"Mau tungguin abang pergi dulu," tolaknya.
"Kamu masuk dulu baru abang pergi,"
"Iya deh iya." Setelahnya Haru memasuki gerbang dan Reval menjalankan motornya meninggalkan rumah Haru.

Tak berselang lama dari perginya Reval, mobil lain memasuki gerbang. Pria dewasa pemilik rumah ini turun dengan wajah marah dan napas memburu. Tak lupa bantingan pada pintu mobilnya. Tak hanya pintu mobil, pintu utama rumahnya juga menjadi korban kemarahannya.

Bantingan keras kembali terdengar, bi Iren yang sedang membersihkan ruang keluarga berjingkat kaget. Lalu menghampiri sang tuan yang menjadi pelaku kegaduhan barusan.
"Haru mana bi?" Tanya Azriel.
"Di kamarnya tuan." Tanpa kata lagi Azriel bergegas menuju tempat yang baru saja disebutkan oleh bi Iren.

Sesampainya di sana, Azriel langsung masuk begitu saja karena tahu pintu kamar Haru tidak pernah dikunci. Kali ini dia tidak membating pintu seperti tadi ya. Dia kalem sekarang, takut anaknya akan kaget dan berakhir takut padanya.

Dilihatnya seluruh penjuru kamar bernuansa biru itu, tapi tak terlihat presensi anaknya di manapun. Namun, perasaannya lega begitu mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Dari sana dia dapat menyimpulkan bahwa kini anaknya berada di dalam sana. Jadi dia memutuskan untuk menunggunya.

Sedangkan di kamar mandi, Haru tengah berendam di dalam bath up sambil senyum-senyum sendiri begitu ingatannya kembali diputar tentang pertemuannya dengan Reval. Juga segala hal yang pernah mereka lakukan bersama. Termasuk yang hari ini. Dia masih heran sosok yang awalnya menyebalkan ternyata cukup mampu membuatnya nyaman. Tak lupa, dia juga ditemani oleh alunan musik favoritnya.

Selesai dengan kegiatannya, Haru keluar dengan handuk yang masih menggantung di lehernya. Tak lupa senyuman yang masih menghiasi wajahnya. Namun, ekspresinya berubah begitu melihat presensi Azriel-sang ayah yang kini tengah duduk di pinggiran ranjang tempat tidurnya.

"A-yah," ucapnya tergagap. Yang dipanggil pun menoleh dan senyum langsung terbit dari bibir ranumnya. Azriel bangkit dari duduknya, lalu berjalan menghampiri sang putra dan memeluknya penuh rindu. Entahlah semua kemarahannya tadi seakan langsung menguap begitu saja saat melihat wajah putra imutnya itu.

"Kamu sayang kan sama ayah?" tanya Azriel masih dalam posisi berpelukan. Haru mengangguk sebagai jawaban.
"Kamu rindu nggak sama ayah?" tanya Azriel lagi dan lagi-lagi hanya dijawab dengan anggukan oleh Haru.
"Kalo gitu kamu mau kan ikut ayah?" lagi-lagi Azriel bertanya kepada Haru, tapi pertanyaannya kali ini tidak dijawab oleh anak itu.

Haru membeku di tempatnya berusaha mencerna pertanyaan yang baru saja terlontar dari bibir sang ayah.

Melihat keterdiaman sang putra, Azriel mengurai pelukan diantara keduanya. Ditatapnya Haru yang kini tengah menunduk. Meraih kedua tangan putranya itu lalu menggenggamnya. Menyalurkan kekuatan.

"Tatap ayah," pinta Azriel dan Haru hanya menurut. Kemudian menatap sang ayah tepat pada kedua manik hitam legamnya.

"Haru percaya sama ayah kan?" Dengan cepat haru pun menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

"Ayah janji kalau Haru mau tinggal sama ayah, ayah bakal sering habisin waktu buat main sama Haru trus ayah juga akan penuhi semua keperluannya Haru," lanjutnya mencoba meyakinkan putra semata wayangnya itu.

"Nggak dia ikut aku pokoknya," sanggah sosok lain yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu dengan bantingan pada pintu. Sampai-sampai membuat Haru dan Azriel berjingkat kaget dan menoleh. Sedangkan Azriel menatapnya dengan tatapn penuh amarah.
Siapa lagi pelakunya kalau bukan Giska Prameswari-ibunda Haru dan mantan istri Azriel.

"Nggak dia harus ikut aku. Titik," balas Azriel tak ingin mengalah.

"Kamu nggak bisa gitu dong mas. Dia anak aku," bantah Giska yang juga tidak ingin mengalah.

"Dia juga anak aku kalo kamu lupa. Aku juga ada hak atas Haru."

Perdebatan itu masih terus berlangsung tanpa ada yang ingin mengalah. Bahkan sesekali mereka juga saling meneriaki. Haru yang melihatnya merasa muak sekaligus kesal. Dia lantasū berteriak berharap dengan begitu kedua orang tuanya itu mau berhenti berdebat.
"STOP!! HARU NGGAK MAU IKUT SAMA SIAPA PUN."

Setelahnya anak itu berlari meninggalkan rumah tersebut dengan perasaan bercampur aduk. Tak peduli akan pergi ke mana nantinya. Yang penting dia hanya ingin menjauh sejenak sekedar untuk menyembuhkan diri. Dia tidak menyangka keluarganya menjadi seberantakan ini.

Sedangkan di sana, Azriel dan Giska diam membeku memandangi kepergian anak mereka. Tak lama, Azriel juga turut melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu berniat menyusul. Namun, dia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah mantan istrinya itu lalu berkata,
"Kalo gitu kita lihat nanti di pengadilan, siapa yang akan menang." Setelah itu, Azriel benar-benar pergi.

Jember, 13 Juni 2021

Masih banyak kekurangan. Harap dimaklumi. Jangn lupa kasih review ya. Kritik saran juga di terima kok.
Happy reading.

SelezioneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang