4. Sosok Menyebalkan

114 21 1
                                    

Haru sudah berlari sekitar 2 km lebih dengan sesekali harus bersembunyi saat bertemu jalan buntu. Sekedar untuk menghindar dari wartawan yang buas melebihi macan itu. Kini dia bisa bernapas lega saat dilihatnya tidak ada lagi wartawan yang mengejarnya. Lalu memilih mendudukkan dirinya begitu saja di pinggiran trotoar. Dia juga tengah berusaha menetralkan napasnya yang satu dua itu. Dia lelah. Sungguhan lelah.

Seorang remaja laki-laki berusia sekitar 19 tahunan lewat di depan Haru yang masih asik duduk di pinggir trotoar. Lalu berhenti tepat di hadapan Haru dan menyerahkan selembar uang sepuluh ribu kepadanya.
Haru menatap apa yang remaja tadi berikan dengan ekspresi cengo. Berusaha memproses kejadian barusan.

Begitu sadar dia langsung berdiri dan menghampiri remaja tadi.
"Maksudnya apaan ini?" Tanya Haru begitu berhasil menghadang langkah remaja itu sambil memperlihatkan selembar uang yang baru saja remaja itu berikan kepadanya.
"Lo pengemis kan?"
"Enak aja. Masa nggak liat gue pake seragam kayak gini?" Remaja itu pun memperhatikan penampilan Haru dari atas sampai bawah dan benar saja dia memang masih berseragam lengkap.
"Gue emang nggak liat. Salah sendiri duduk di sana udah kayak gembel aja."
"Sekarang malah ngatain gembel," protes Haru tak terima.
"Sadar dong tuh liat penampilan lo."

Haru memperhatikan penampilannya dari atas sampai bawah.
'Benar sih gue udah kayak gembel,' ucapnya dalam hati. Bagaimana tidak baju udah lecek nggak berbentuk plus basah karena keringat juga sepatunya yang sebelah kanan sobek. Tunggu sepatunya sobek.

"Huaaa sepatu gua," tuhkan pecah sudah teriakannya. Remaja di hadapannya tadi refleks menutup telinga begitu suara melengking itu menyusup ke area gendang telinganya.
"Nggak usah teriak juga kali. Bisa rusak telinga gue nanti."

Bukannya diam mendapat teguran seperti itu, Haru malah semakin mengencangkan teriakannya. Tidak lupa mata yang sudah berkaca-kaca siap untuk menangis.

Remaja tadi yang tidak ingin dikira sebagai penyebab bocah di depannya ini menangis, refleks menutup mulut bocah itu.
"Gue bakal lepasin ini asal lo janji jangan teriak lagi." Haru hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Lo habis pegang apaan sih?" Tanyanya misuh-misuh begitu tangan yang membekapnya tadi terlepas.
"Gue tadi habis pegang oli soalnya motor gue mogok trus belum cuci tangan cuman dibersihin pake tisu doang," jawab remaja tadi dengan tampang tak berdosa. Minta ditabok.
"Anjirrr. Pantesan bau banget," protes Haru sambil memperlihatkan ekspresi ingin muntah.
"Masa sih?"
"Coba aja sendiri."

Dengan bodohnya remaja itu malah mengikuti perkataan Haru. Mengarahkan tangannya ke arah hidung lalu mencium baunya. Benar saja Remaja itu juga menunjukkan ekspresi tak jauh berbeda dari Haru. Igin muntah.

"Bener kan?" Tanyanya sambil tersenyum penuh kemenangan. Sebenarnya dia ingin menertawakannya, tapi kasihan. Jadilah dia hanya tersenyum devil. Wkwkkw.
"Makanya jangan asal bekap mulut orang."
"Salah lo sih teriak-teriak cuman gegara sepatu robek. Kayak anak kecil aja," ucap remaja itu tak mau kalah.
"Heh lo kan emang masih bocil," ralatnya yang sontak membuat mata Haru membola dengan wajah memerah karena marah.

"Lo ya--" ucap Haru terpotong lantaran tak tahu bagaimana mengekspresikan kekesalannya dalam kata-kata. Tangannya bahkan sudah mengepal saking kesalnya.
Remaja tadi yang melihatnya seperti itu malah semakin menantang.
"Apa? Kan emang itu kenyataannya,"

Wajah Haru memerah, tangannya juga semakin mengepal. Dia tidak suka disebut bocah bahkan oleh kedua orang tuanya sendiri dan kini sosok asing telah menyebutnya begitu. Bagaimana ia tidak marah?

Mulutnya sudah terbuka bersiap mengeluarkan beberapa makian kepada remaja itu. Namun, urung begitu pandangannya mengarah pada segerombolah orang di belakang sosok itu. Sedikit jauh memang, tapi dia tahu siapa mereka. Dengan cepat dia berbalik memunggungi remaja asing itu sambil mengumpat.
"Sialan!! Kenapa mereka bisa sampe sini sih."

SelezioneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang