1

37.5K 2.6K 506
                                    

Mobil hitam itu membelah jalanan kota Seoul yang nampak lenggang sebab jam yang sudah masuk tengah malam. Langit diatas sana lapang tanpa adanya bintang yang hadir sebagai teman sang bulan yang bersinar dengan sempurna. Memang hampa, bertahan sendirian ditengah sepi yang merajalela.

Dua insan yang berada dalam satu ruang itu diam mengunci masing-masing bibir. Yang satu sibuk memperhatikan jalanan yang dilintasi, satu lainnya sibuk dengan pemikirannya sendiri. Waktu seolah berjalan begitu cepat. Tidak ada celah untuk mereka mengeluarkan isi pikiran dengan tenang. Didesak oleh kekalutan dan ditekan oleh rasa takut. Takut saat berucap salah mengeluarkan kata.

Netra itu bergulir dengan gelisah ditempat duduknya. Renjun menatap sosok yang sedang mengemudi disampingnya dengan sayu. Lee Jeno dengan segala kelebihannya yang nyaris membuat sosok itu sempurna. Tampan, mapan, dan sifat yang menjadi dambaan banyak orang. Tak terkecuali Renjun sendiri.

Pria yang menikahinya tujuh tahun lalu itu semakin memancarkan aura dewasanya. Senyum serupa bulan sabit yang biasa ia terima, kini tidak lagi. Lenyap sejak beberapa waktu lalu. Renjun tengah berpikir, sebenarnya disini siapa yang patut disalahkan? Dirinya, Jeno atau keadaan?

Kendaraan roda empat itu perlahan memasuki area perumahan mewah dipusat kota Seoul. Rumah dengan gaya minimalis modern menyambut mereka didepan mata. Cat berwarna putih gading itu selalu mencerminkan bagaimana harmonisnya keadaan didalam rumah. Namun mungkin itu beberapa waktu lalu.

Keduanya turun dalam diam. Tidak ada adegan romansa khas cerita telenovela atau kebiasaan yang sering mereka lakukan. Jeno turun begitu saja tanpa mempedulikan Renjun yang menatap punggungnya sembari menghela nafas berat.

Kaki-kaki itu berjalan dengan langkah berat memasuki rumah. Saling mendiami, belum berniat membuka suara barang satu atau dua patah kata. Sampai keduanya tiba diruang tengah, Renjun lebih dulu mendudukkan dirinya disalah satu sofa. Sejenak bersandar sambil menutup mata. Menyiapkan diri untuk apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Sekarang aku ingin mendengar penjelasanmu, Jeno." Kata Renjun. Bukan kebiasaannya memanggil Jeno dengan nama langsung. Namun entah, lidahnya terlalu kelu untuk mengucapkan panggilan sayang untuk pria itu.

Jeno menarik nafas panjang sebelum mulai bersuara. "Seperti yang kau tahu tadi. Aku akan menikah lagi, sesuai keinginan orang tuaku."

"Kenapa?" Tanya Renjun.

"Mereka ingin-"

"Kenapa kau tidak meminta izinku?" Potong Renjun cepat. Mata keduanya beradu tatap. Renjun masih mampu mengendalikan diri dan emosinya. Ia bukan sosok yang sering meledak-ledak, tapi bukan juga tipe pendiam.

"Aku tidak siap, Renjun. Kau tahu bukan? Aku mencintaimu, aku tidak bisa membuatmu terluka dengan mengatakan itu." Jeno meraih kedua tangan yang lebih kecil. Menggenggamnya dengan hangat, seolah menyalurkan perasaannya yang sedang tidak karuan. "Aku tahu, sekarang kau terluka. Tapi sungguh, aku juga tidak merencanakan ini."

"Kau tidak merencanakan ini, tapi kau mampu menghamilinya dengan mudah. Ah, bukankah dengan itu jalan orang tuamu untuk mendapatkan cucu lebih mudah? Kau akan mempunyai istri yang bisa memberimu keturunan seberapa banyak pun yang kau mau." Renjun terkekeh setelah berucap. Ia membalas genggaman Jeno dengan erat. Berusaha sekuat mungkin menahan tangisnya.

"Bukan begitu, Renjun. Maaf, aku salah. Tapi aku juga harus bertanggung jawab."

"Ya, kau harus bertanggung jawab. Karena orang tuamu juga menginginkan itu."

"Renjun!"

Renjun diam tidak membalas. Kepalanya kini menengadah sebentar, membayangkan Jeno bersanding dengan orang lain benar-benar membuatnya sakit. "Apa pantas jika aku berharap kau tidak bertanggung jawab? Apa bisa aku mengambil sikap egois?"

Soreness | NoRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang