4

18.5K 2.3K 253
                                    

Saat pagi menyambut, hanya aroma kopi yang menguar memenuhi ruangan luas itu. Tidka ada percakapan, tidak ada interaksi jauh seperti biasa. Kegiatan kemarin seolah tidak pernah terjadi sebelumnya. Berberapa hari bahkan nyaris seminggu. Baik Renjun maupun Jeno tak pernah bertegur sapa. Terakhir kali mereka sedekat nadi yaitu ketika menghabiskna sisa malam bersama.

Tidak ada kata yang keluar dari bibir keduanya saling berpapasan. Satu minggu itu pula, Lee Jeno tidak pernah lagi memasuki ruangannya bersama Renjun. Membiarkan pasangannya tidur sendiri. Pria yang sebentar lagi mempersunting calon istrinya itu terlihat lebih sibuk dari sebelumnya. Atau mungkin lebih tepatnya menyibukkan diri dengan urusan kantor. Melimpahkan semua urusan persiapan pernikahan pada orang tuanya.

Heejin sudah hengkang dari kediaman mereka beberapa hari lalu. Wanita yang tengah berbadan dua itu sengaja dipindahkan ke rumah orang tua Jeno dengan alasan pernikahan mereka yang sebentar lagi terlaksana.

Tepat hari ini, Renjun menyaksikan sendiri bagaimana Lee Jeno mengenakan tuxedo hitam dengan dasi terpasang apik. Rambut yang di tatan rapi memperlihatkan sebagian dahinya. Tidak ada kata lain yang menggambarkan pria itu selain tampan. Proporsi badan yang tinggi besar membuatnya gagah dalam balutan busana itu.

Renjun berdiri disudut ruangan memperhatikan seseorang yang masih sibuk membantu membenahkan dadi yang dipakai suaminya. Jantungnya berdebar kuat. Sebentar lagi. Ya, hanya tinggal menunggu menit ia akan melihat sendiri suaminya menikahi orang lain diatas altar. Dengan perayaan yang disiapkan begitu matang.

Sungguh, Renjun selalu merasakan sesak. Setiap matanya menatap wajah datar Jeno, hatinya merasakan patah yang hebat. Seolah angan dan harapan yang dibangunnya selama ini diruntuhkan dalam sekejap mata. Tidak ada arti saat menyaksikan sendiri suaminya menikahi wanita itu.

Dulu, dia pikir dengan menikah semuanya akan berjalan lancar. Hubungan mereka akan semulus sesuai keinginannya. Walau setelah menjalin hubungan itu, ia harus menekan semua ego yang ada. Renjun tidak pernah berpikir sejauh ini kakinya melangkah. Mengikuti Jeno yang selalu memimpin langkahnya. Renjun pikir, mereka berjalan berdampingan.

Melihat senyum yang diperlihatkan mereka yang hadir, membuat Renjun sadar. Bahwa pernikahan itu tak dipermasalahkan, walau dirinya masih berdiri tegak disana.

Dititik terberat ini, ia hanya bisa merelakan. Atau bahkan melepaskan diwaktu mendatang. Kakinya dengan berat melangkah menghampiri Jeno yang duduk gugup dikursi depan cermin. Dengan tegar, Renjun menyentuh kedua bahu tegap suaminya.

"Sudah waktunya, ya?" Tanyanya lirih.

Dilihatnya Jeno yang juga menatapnya dipantulan cermin. Sebelah tangannya meraih dan menggenggam tangan yang lebih kecil. Tubuhnya ia balikkan guna menatap langsung istri mungilnya. "Kau rela?"

Renjun terkekeh mendengar itu. "Tidak akan ada yang rela, Jeno. Saat orang yang dibanggakan bertahun-tahun, kau cintai selama bertahun-tahun juga, lalu tiba-tiba melangkah mendahuluimu. Bahkan beranjak meninggalkanmu. Aku termasuk orang-ornag yang tidak akan pernah rela, Jeno."

Sosok pemilik marga Lee itu diam tak menjawab. Genggaman tangannya mengerat bersamaan rahangnya yang mengeras. Debaran didadanya semakin kencang.

"Tapi meski begitu. Bukankah hanya merelakan yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa egois sekarang. Sekalipun aku bersikap egois, ada Ayah dan Ibumu yang akan menentangnya. Lagi pula, ada anakmu yang membutuhkan ayahnya. Ada orang yang juga harus kau tanggung kehidupannya. Setidaknya aku tidak akan merasa bersalah saat kau berani maju bertanggung jawab." Renjun membingkai sisi wajah Jeno dengan kedua tangannya. Mengusap pipi dan rahang tegas suaminya lembut. "Hiduplah dengan baik. Jaga dirimu, jaga keluargamu, bagi waktumu sebaik mungkin. Ini semua tidak akan mudah Jeno, tapi aku hanya meminta satu sekarang. Sehat selalu..."

Soreness | NoRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang