5

18.3K 2.3K 442
                                    

Renjun meremat tangannya sendiri saat situasi tegang tergambar disana. Duduk berdua berhadapan dengan suami, atau mungkin calon mantan suami. Matanya bergerak gelisah, tidak kuasa menatap netra sekelam jelaga dihadapannya. Degup jantungnya tidak tenang sejak beberapa saat lalu.

Lampu kemuning yang bersinar jauh diatas kepala membuat temaram semakin terasa. Angin malam menyapu pelan permukaan wajah. Beberapa bagian tampak memerah karena dingin yang menusuk. Helaan nafas berat terdengar kontras.

Map yang terletak diatas meja menjadi titik masalah.

"Maksudmu apa?"

Saat diksi itu terdengar, Renjun tidak berniat sama sekali untuk membalas. Bukankah alasannya sudah jelas? Itu tindakan yang bisa dilakukannya di kondisi yang tidak memungkinkannya untuk bertahan. Pilihan yang diambilnya mungkin memang bukan yang paling tepat. Jika Renjun mau bersikap egois, mungkin dia akan memilih bertahan. Lalu meminta Jeno menceraikan Heejin setelah wanita itu melahirkan. Merawat anak Jeno berdua.

Bagaimanapun juga, Renjun memiliki sisi manusia. Ia bukan orang jahat yang tega memisahkan ibu dari anaknya yang bahkan belum dapat mengerti permasalahan pelik mereka. Dia memilih membiarkan pasangan baru itu merajut hubungan. Meski sebenarnya ia egois untuk perasaannya dan perasaan Jeno.

"Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikanmu, Renjun." Tekan Jeno sekali lagi. Tatapannya tajam menyiratkan kemarahan.

"Jangan egois, Jeno." Tak terima dengan itu, Renjun mencoba membalas tatapan yang sungguh sangat dibencinya.

"Kau juga egois. Aku hanya bertanggung jawab, bukan selamanya akan menjadi milik dia. Kau tidak bisa menunggu? Aku akan kembali, untukku, untukmu. Untuk kita, Renjun. Jangan membuatku gila," ucapnya. Diakhir kalimat suaranya memelan, dibiarkan terbang dibawa angin. Nyatanya diantara percakapan itu, keduanya sama-sama mendapati diri yang terluka.

"Aku harus menunggu? Berapa lama lagi? Hingga istrimu melahirkan? Hingga perasaanmu telah berubah? Sampai kapan? Ini terlalu merugikan untukku. Selain harus berbagi, kau juga memintaku menunggu?"

Renjun menundukkan sejenak kepalanya. Pusing tiba-tiba saja mendera kepalanya. Sekuat tenaga air matanya ia simpan. "Aku menunggumu saat kau bermalam dengan wanita itu. Aku bahkan rela tidak tidur semalaman untuk memastikan kau pulang. Tapi apa yang aku dapat? Kecewa. Sekarang jika aku harus menunggu lagi, bukan tidak mungkin jika yang aku dapat akan lebih menyakitkan." Nafasnya terasa berat saat ini.

Jeno dibuat bungkam dengan itu. Sedikit banyak ia membenarkan ucapan itu. Seperti brengsek yang benar-benar hina, ia membenarkan kelakuannya yang salah.

"Tujuh tahun bukan waktu yang singkat, Jeno. Apa kau pikir ini tidak sulit untukku? Apa kau pikir aku senang-senang saat jauh darimu? Aku sakit, Jeno. Fisik dan hatiku sakit, aku menemuimu sekarang bukan tanpa persiapan." Renjun menunjuk wajah sang dominan dengan berani. Kepalang marah dengan keadaan yang membuatnya tertekan.

"Aku minta maaf," tutur Jeno. Ia berdiri lalu mengelilingi meja untuk sampai dihadapan Renjun. Ia berlutut didekat kaki istrinya. Mencoba memutar atensi Renjun. Kedua tangan besarnya merangkum jemari mungil milik sosok yang enggan menatapnya. "Aku mohon padamu, jangan pergi. Tetap bersamaku, aku mohon."

Seumur bersama dengan Lee Jeno, Renjun tidak pernah melihat lelaki itu menangis. Tapi malam ini, lelaki itu memilih mengeluarkan keluh kesahnya lewat tangis. Terisak dalam pangkuannya, punggung lebarnya bergetar. Renjun memalingkan wajah saat dirasa dadanya bergemuruh. Enggan menerima perasaan itu lagi dalam hatinya. Tetapi juga tak sanggup menolak saat keinginan menenangkan menguasai pikirannya. Apa ia terlalu jahat?

"Sepanjang hidupku, aku sudah berjanji akan menjagamu. Aku tidak bisa jika dituntut berhenti mencintaimu. Tolong, sekali ini saja. Tetap bersamaku," lirih Lee Jeno. Suara serak dan dalam miliknya menginvasi pendengaran Renjun.

Soreness | NoRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang