12. End

29.3K 2.3K 609
                                        

Renjun menatap bayi satu bulan yang tengah menggeliat didalam box bayi dengan air mata menggenang di pelupuk matanya. Sembilan bulan sudah terlewat ia mengandung putranya ini. Dan tepat satu bulan lalu kelahiran anaknya. Waktu cepat berlalu membawa kenangan buruk yang tak serta hilang dari ingatan. Begitu pedih mengingat masa-masa yang seharusnya ia lewati dengan suka cita berubah menjadi mimpi buruk.

Terlalu banyak tangisan dan luka dalam kurun waktu kurang dari satu tahun ke belakang. Hadirnya janin kecil dalam perutnya yang seharusnya disambut tangis haru setelah penantian tujuh tahun lamanya berubah menjadi tangis penyesalan. Renjun menangisi keterlambatan ia menyadari tumbuhnya si kecil.

Bayi kecil itu kini memiliki wajah yang rupawan. Sepenuhnya menurun dari ayahnya. Hidung mancung, mata yang masih sesekali terbuka, bibir mungil yang mengambil sepenuhnya darinya. Setitik air matanya jatuh tepat mengenai pipi gembil putranya. Diusapnya pelan, ia terkekeh saat jemari mungil itu menggenggam jarinya.

Kemeja putih yang dikenakannya tak serta menutup bagian perut yang masih sedikit berisi. Renjun masih dalam tahap pemulihan pasca operasi. Ia bawa bayi itu ke dalam gendongannya. Pandangannya tak sedikitpun teralihkan. Seolah sang anak adalah pusat dunianya sekarang, semestanya yang harus ia jaga. Buah hati yang begitu ia cintai.

"Renjun," panggil seseorang yang baru saja memasuki kamarnya. Ah, sebenarnya ini masih kamar yang sama dengan yang ditempatinya bersama Jeno dulu. Renjun masih enggan meninggalkan tempat ini.

Dua orang berdampingan berdiri di ambang pintu. Melempar senyum lembut ke arahnya. Mereka berjalan mendekat ke arahnya, tapi Renjun masih terpaku diam. Dalam dekapannya si kecil mengusak wajah didadanya. Renjun sedikit tergelitik oleh kelakuan anaknya.

"Kita harus segera ke sana," ucap yang lebih tua.

"Boleh minta waktu sebentar lagi?" Pinta Renjun.

Kun mengangguk menatap adiknya sayang. Ia mengusap puncak kepala Renjun. "Yangyang akan menemanimu disini. Jangan terlalu lama, ya?" Kata sang kakak sebelum pergi meninggalkan dua orang disana.

"Tampan sekali," ujar seseorang bernama Yangyang itu. Tangannya mengusap lembut pipi si kecil dengan perasaan gemas.

Renjun tersenyum mendengar itu. Anaknya memang tampan, Renjun akui itu. Ia membuka dua kancing teratasnya. Miliknya mungkin tak sebesar milik perempuan pada umumnya, tapi cukup untuk menampung asupan putranya. Terlihat dari bibir mungil itu yang menyesap penuh semangat. Menerima asupan dari ibunya adalah bagian favorit anaknya. Setiap kali, setiap saat, bayi mungil itu akan bertingkah semangat untuk menguras energinya.

"Jie harus menjadi anak baik ya, Nak," ucapnya mengusap kepala anaknya dengan helaian hitam lebat. Betapa bahagia ia bisa membawa bayi mungil ini ke dunia. Malaikat kecilnya.

Yangyang melihat pemandangan ibu dan anak itu dengan pandangan sulit diartikan. Sebab ia tahu perjalanan panjang Renjun sejak sosok yang menjadi adik iparnya itu mengalami pendarahan beberapa bulan lalu. Pilihan antara mengangkat atau mempertahankan janinnya pernah diberikan dokter. Ia tahu seberapa berat Renjun kala itu, hidup dan matinya tengah dipertaruhkan. Tapi Renjun lebih memilih mempertahankan bayinya dengan segala konsekuensi yang harus dihadapinya.

Yangyang juga menjadi saksi bisu kelahiran si kecil. Renjun yang tak sedikitpun mengeluarkan tangis saat kesakitan melandanya. Sosok yang begitu kuat dimatanya itu bahkan hanya mengeluarkan ringisan kecil, sebatas itu tidak lebih. Yangyang pikir dia telah mati rasa dengan apa yang dialaminya.

Hingga tiba saatnya Kun kembali masuk ke dalam kamar itu. Dilihatnya Renjun yang tengah kembali mengancingkan bajunya. Ah, sepertinya Yangyang terlalu banyak melamun hingga melewatkan bayi kecil yang kini telah tertidur kembali.

Soreness | NoRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang