7

19K 2.2K 368
                                    

Entah sejak kapan kegiatan melamun menjadi kegiatan favoritnya. Renjun hanya merasa ia perlu mengosongkan pikiran. Setelah berita kehamilannya terdengar, satu persatu pikiran menggelayutinya. Beban dipundaknya semakin terasa berat. Bukan tidak senang, Renjun hanya berpikir, kenapa harus terjadi saat ia telah memilih jalan lain?

Bayang-bayang Jeno masih enggan pergi. Bagaimana keadaan pria itu sekarang? Apa Jeno tahu jika dirinya tengah mengandung anak mereka? Atau apakah pria itu bisa hidup dengan baik setelah ini? Makan dengan baik? Rasanya menangispun tidak akan mampu membuatnya tenang.

Satu malam sudah ia lewatkan dalam ruangan bernuansa putih itu, tapi tidak ada satupun tanda-tanda kedatangan Jeno. Jujur saja Renjun berharap pria itu segera datang, sekedar mengucapkan selamat atau memberikan pelukan singkat sebagai bentuk sambutan untuk si kecil dalam perutnya.

Air matanya kembali berjatuhan. Sinar matahari pagi menerpa kulitnya hangat.

"Jeno sedang apa, ya?" Monolognya. Renjun masih ingat betul, baru kemarin siang mereka resmi berpisah. Tapi rindunya telah menumpuk.

Tangannya saling meremat diatas paha. Terlihat sedikit darah dari jarum infus yang menancap ditangan kirinya. Renjun memilih sendiri untuk berjemur di taman rumah sakit pagi ini. Ia menolak ditemani. Ia pikir, dirinya perlu waktu sendiri untuk berpikir lebih jernih. Tapi pada kenyataannya, hanya Jeno yang memenuhi kepalanya.

"Jeno," ucapnya saat seseorang bersimpuh didepan kakinya. Tangannya bergerak mengusap pipi tirus orang itu.

"Aku Jaemin," ucap orang itu.

Renjun mengerjapkan matanya. Itu benar Jaemin. "Ah, maaf," ucapnya tak enak.

"Tidak apa," kata Jaemin. Ia beralih duduk disamping Renjun. Memandang wajah sendu sahabatnya dari samping. "Apa sudah merasa lebih baik sekarang?" Tanyanya.

"Ya, lumayan. Tidak pusing seperti kemarin," balas Renjun.

"Syukurlah." Lelaki itu tampak ragu untuk mengutarakan sesuatu. Pandangannya kini bergerak acak. Nafasnya gusar juga pergerakan tak enak. "Ini aku dapat titipan dari Jeno," ucapnya.

"Apa?" Renjun menoleh saat mendengar nama Jeno diucapkan. Tatapannya penasaran tentang hal apa yang dibicarakan Jaemin.

"Aku rasa kau harus ke ruanganmu dulu, ayo aku bantu." Renjun hanya pasrah saat bahunya dirangkul. Langkahnya memang masih lemas, ditambah perutnya masih sedikit ngilu. Entah karena apa.

Diperjalanan menuju ruangan tidak seorangpun membuka suara. Mereka sama-sama diam. Dalam benaknya, Renjun penasaran, sangat. Tangannya membawa tiang infus.

"Ahh," lenguhnya saat mendaratkan tubuh diatas ranjangnya. Tangannya sedikit menopang perut bawahnya, karena sungguh entah mengapa terasa ngilu. Renjun baru sadar bahwa baby bump tercetak jelas diperutnya.

"Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi dia mengirimkan rekaman padaku, untukmu." Jaemin mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Satu jam lalu pria itu mengirimkan pesan suara padanya dengan keterangan lain untuk disampaikan pada Renjun.

"Dimana dia sekarang?" Tanya Renjun setelah menerima benda pipih berwarna hitam ditangannya. "Dimana Jeno sekarang?"

"Aku tidak tahu, dia hanya menitipkan itu. Kau bisa mendengarkannya, aku tunggu diluar."

Renjun menatap hampa kepergian Jaemin. Perasaan tak enak kembali mengerubunginya seperti serangga. Tangannya bergetar mencoba tetap memegang ponsel Jaemin dengan benar. Tools segitiga bersiap ia tekan, namun ia dibuat takut. Haruskah?

"Sayaangg...

Ah itu suara Jeno yang mungkin menyapanya. Lama sekali tidak mendengar suaranya membuat hatinya menghangat.

Soreness | NoRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang