Kepulan asap yang berasal dari dua cangkir cokelat panas diatas meja itu perlahan menguap. Duduk berhadapan tanpa lemparan kata membuat suasana terasa lebih lenggang. Hujan deras diluar sana dimulai sejak beberapa menit yang lalu. Gemericik air hujan yang bertabrakan dengan kaca terdengar kontras.
Di ujung Cafe, dua orang itu saling bergeming. masing-masing netra menatap setiap tetesan yang menabrak bumi. Sesekali dominan bersurai hitam pekat itu menatap objek cantik dihadapannya. Bagaimana paras ayunya terlihat sembab. Pandangan sendu yang masih belum menyadari tatapannya itu terus terarah keluar. Ada rasa tidak rela melihat bagaimana kacaunya submisif cantik itu saat pertama bertemu tadi.
Dulu, ia menyerah akan perasaannya. Sebab Jaemin tahu, diantara mereka tidak akan ada hubungan lebih selain 'sahabat'. Ya, Jaemin dan Renjun.
Na Jaemin, sosok dengan tubuh tegap serta tatapan dalam yang selalu ia lemparkan pada siapapun. Sahabat Huang Renjun sejak mereka duduk dibangku sekolah menengah. Menyerah dalam artian lain, ia membiarkan Renjun bahagia dengan pilihannya. Tidak lagi memaksakan perasaannya saat Renjun sendiri telah memilih pilihannya sendiri. Jaemin menyukai sahabatnya itu atau bahkan mencintainya. Namun Renjun terlalu naif untuk menyadari keadaan itu.
Sempat ia akan menyatakan perasaan miliknya, namun terhenti saat melihat bagaimana raut bahagia yang diberikan Renjun saat itu. Tepatnya tujuh tahun lalu. Sekarang, entah ia sudah lupa atau bahkan semakin dalam mencintai sosok sahabatnya. Jaemin tidak tahu.
Di keadaan ini, ia tahu, bahwa Renjun sedang tidak baik-baik saja. Sahabatnya itu terlihat pasrah pada apapun yang tengah dialaminya. "Sampai kapan kau akan diam?" Tanyanya.
Renjun mengalihkan atensinya. Menatap Na Jaemin dengan tatapan sayu miliknya. "Apa yang harus aku lakukan?"
"Aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi," sarkas Jaemin.
"Jeno akan menikah lagi, calon istrinya sedang mengandung." Renjun memalingkan pandangan saat melihat raut biasa saja dalam pola wajah tampan Jaemin.
"Benarkah?"
"Iya, bukankah dengan itu aku harus mengalah? Aku tidak se-sabar itu untuk tetap bertahan sedangkan suamiku telah mendapatkan apa yang dia mau." Satu celah yang mampu membuat air matanya kembali luruh. Mengingat bagaimana raut bahagia Jeno saat ia tak sengaja mendapati suaminya itu tengah mengobrol dengan Heejin pagi tadi. Hal pahit yang semakin dalam mengusik perasaannya adalah ketika pria Lee itu mengusak tangannya lada perut calon istrinya.
"Kau ingin mundur?"
"Aku tidak ingin, tapi harus."
"Kapan?"
Renjun mengernyit bingung mendengar pertanyaan itu. "Apa?"
"Kapan kau akan mengajukan surat perceraian?"
"Tidak tahu," balas Renjun setelah paham dengan maksud pertanyaan Jaemin.
Jaemin menghela nafas. Ia melipat tangan didepan dada. Pandangannya menilai seberapa besar masalah itu. "Jangan memutuskan sesuatu saat kau belum siap. Pikirkan lagi. Yang menjalani dirimu, yang merasakan sakitnya juga dirimu, tapi mengambil keputusan saat kalut juga tidak dibenarkan. Bicarakan lagi masalahmu dengan dia, cari jalan keluar terbaik menurut kalian berdua."
"Na..."
"Beritahu aku saat kau sudah membuat keputusan dengan segala pertimbangan. Aku akan membantumu sebisaku," tambah Jaemin.
"Kenapa ibu Jeno bisa tapi aku tidak bisa?" Lirih Renjun. Ia menangis lagi, ditemani Jaemin yang senantiasa menatapnya dengan pandangan datar.
"Semua orang tidak sama. Jika dia bisa, lalu kau tidak bisa, itu bukan salahmu apalagi Tuhan. Harusnya mungkin memang begitu." Jaemin mulai berdiri dan berjalan menghampiri Renjun. Ia tidak setega itu untuk membiarkan Renjun larut sendirian dalam pilu dan pemikiran buruknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soreness | NoRen
Fanfiction"Yang pertama bukan berarti yang terakhir." BxB || GAY || MPreg ©Jeojae 2021 Start : 18 Mei 2021 Finish : 6 September 2021 Pict : Pinterest