6

18.5K 2.4K 1K
                                    

Sebelum membaca, alangkah baiknya siapkan lebih dulu kata-kata mutiaranya.

.
.
.
.

Senyap menjelma menjadi teman perjalanan sejak dua jam lalu. Mata tajamnya menjelajah jalanan yang dilaluinya. Berbagai pikiran memenuhi otaknya. Tangan yang menampakkan urat-urat besar itu sesekali tampak tegang mencengkram kemudi.

Jeno tahu betul kemana tujuannya sekarang. Pesan ibunya beberapa waktu lalu tak dihiraukan olehnya. Bahkan hingga matahari digantikan bulan, ia masih betah membelah jalanan. Tidak sedikitpun Heejin mampir dipikirannya. Tidak peduli bagaimana amukan ibunya nanti, Jeno harus segera menuntaskan amarahnya.

Tidak adil untuknya. Saat orang lain senang karenanya, tidak dengan dirinya sendiri. Jeno kehilangan istri bahkan mungkin hidupnya jika masalah ini tidak segera dituntaskan.

Omong-omong tentang Renjun, ia tidak tahu bagaimana keadaan mantan istrinya itu sekarang. Karena tujuannya telah berganti haluan sesaat setelah telepon dari ibunya terputus. Lelah ditubuhnya tak ia hiraukan, karena sekarang penasaran lebih menguasai dirinya.

Busan telah menyambut didepan mata. Dadanya bergemuruh, rahangnya mengeras. Dalam hati ia mengumpat habis-habisan.

Hingga kendaraannya memasuki deretan rumah mewah dipusat kota, tatapannya semakin menajam. Memberikan dua kali klakson didepan salah satu rumah dengan pagar hitam menjulang. Penjaga disana segera membuka gerbang saat mengenalinya.

Masa bodoh dengan sopan santunnya, Jeno membanting keras pintu mobil. Dia menerobos pintu besar tanpa menekan bel. Langkahnya memperlihatkan bahwa pria itu tengah dilanda kemelut amarah. Wajahnya tidak mengenakkan untuk dipandang.

"Mark Lee!" Teriaknya saat tiba diruangan besar. Jeno ingin sekali menghancurkan barang-barang yang ada disana. Begitu matanya menangkap foto besar terpajang disana, puncak amarahnya tiba.

Keluarga saudaranya baik-baik saja, setelah ia sendiri yang dikorbankan.

"Ada apa? Oh, Jeno. Kapan tiba? Kenapa tidak mengabari kau ingin kemari?" Seseorang datang dari arah tangga dengan setelan rumahan biasa. Tampangnya nampak santai dan bersahabat.

"Bajingan!"

Hanya butuh satu detik untuk Jeno menerjang tubuh kakak kandungnya itu. Tangannya yang sejak tadi tidak tahan ingin memukuli orang kini terealisasikan. Memukul orang yang disebut Mark Lee olehnya, dengan brutal. Tak menghiraukan pekikan seseorang serta beberapa pelayan yang mencoba melerai. Tatapan nyalang menandakan singa yang semula tertidur telah dibangunkan secara paksa.

"KENAPA KAU TIDAK MATI SAJA SIALAN?!"

Jeno menghentikan aksinya. Nafasnya memburu, badannya telah berdiri tegap. Baju tidak lagi bisa dikatakan rapi, dua kancing teratasnya terlepas. Jasnya kusut dibeberapa bagian.

"Astaga, Mark."

Pria kelahiran 28 tahun silam itu melengos melihat sosok yang menghampiri kakaknya dengan raut terkejut. Ia akui mereka serasi, yang lebih membahagiakan lagi sosok itu tengah mengandung.

"Aku baik-baik saja, kau masuk kamar saja, ya?" Mark bangun tertatih. Wajahnya linu sana-sini. Ucapannya dijawab gelengan kukuh oleh istrinya.

Lantas yang lebih muda mendecih mendengar drama picisan dihadapannya. Kedatangannya ke sana bukan untuk menyaksikan drama murah semacam itu. Tolong maklumi pemikirannya saat ini. Jeno terlalu muak menghadapi situasi menyakitkan ini. "Ikut aku ke Seoul," ucapnya telak.

"Untuk apa?" Tanya Haechan.

"Menurutmu?" Jeno menunjuk Mark dengan tatapan tajamnya. "Si brengsek itu harus bertanggung jawab untuk semuanya."

Soreness | NoRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang